SAAT SENJA TENGGELAM SEMAKIN DALAM - SUYAT ASLAH

SAAT SENJA TENGGELAM SEMAKIN DALAM



Di matanya sekarang, pegunungan yang dia pandang terlihat seperti kuburan hijau. Udara basahnya seakan bisa meracuni siapa saja yang mendaki di antara pepohonan berhimpit. Kegelapan yang bersemayam, seperti menandakan ada sesuatu di luar jangkauan kesadaran manusia normal. Keyakinan di hatinya yang sudah meracuni sukma. Bahwa, seperti halnya sebuah tragedi, di sanalah telah terkubur seseorang yang dahulu dipertemukan Tuhan di tempatnya sekarang berdiam, berkilo-kilo dari pegunungan Lande yang masih terlihat perkasa. Bedanya, matanya kini tak melihat lagi pohon Lande, yang sebelumnya bisa dilihat dengan jelas jika cuaca cerah dari jarak bentangan enam desa, sekitar belasan kilometer dari bawah gunung. Pohon yang tumbuh jauh sekali sebelum orangtua Sukmini dilahirkan, ribuan tahun lampau mungkin. Sekarang, bekas hilangnya pohon itu, rongga yang cukup dalam dan lebar, menyerupai kawah, sudah tertutupi oleh tanaman-tanaman baru yang dibiakkan sendiri oleh alam, atas kuasa Tuhan.

Sudah dua jam hari ini, dari empat tahun ke belakang, Sukmini suka memandang pegunungan Lande, hingga petang menjelang. Rambutnya dibiarkan terurai lepas. Bernyanyi lirih, meliuk-liuk bersama angin yang mengalir menggoyangkan tanaman padi dan pepohonan yang tumbuh pinggiran kali. Seakan menikmati langgam jawa yang dinyanyikan.

Dahulu pegunungan Lande adalah tempat dilahirkannya. Tumbuh dan berkembang menuju dewasa. Sudah terbentuk permukiman yang cukup lumayan saat itu. Rumah—rumah dari kayu. Meski hanya ada satu sekolah dasar. Jika sekolah menengah, maka harus berjalan turun gunung, berkilo-kilo jauhnya.

Jika dibesarkan dan menetap sejak kecil di sana, jarang ada orang yang bisa bersepeda. Ada banyak sekali jurang-jurang yang siap menelan siapa saja yang meleng saat berjalan. Dinding tanah yang terjal hampir 90 derajat. Sudah pasti bahaya longsor mengancam. Permukiman berada di bawah pohon Lande. Pohon perkasa yang menaungi. Namun kehidupan terus berjalan. Jika masa panen padi di dataran bawah. Para ibu-ibu akan turun gunung pagi-pagi, belasan kilo, melewati enam desa untuk sampai ke persawahan. Membawa karung dan sinjang juga alat merontokkan padi. Berjalan mengikuti aliran kali yang mengalir dari gunung sampai ke sawah—sawah yang akan dia tuju. Setelah sampai, yang dicari adalah orang yang sedang menggepyok padi. Tentu ada satu—dua butir padi pada tiap helai Damen padi yang tertinggal saat sesudah digepyok.

Ibu-ibu itu akan duduk di sebelah orang yang menggepyok padi, jika sudah meminta izin sebelumnya. Setelah itu tinggal menanti lemparan Damen yang telah digepyok. Tak semua orang senang dihadiri para tukang Ngasag, karena biasanya ada perasaan tak enak jika digepyok terlalu bersih. Terkadang jika tukang gepyok yang sedikit cerewet, akan mengusir para tukang Ngasag sebelum mereka meminta izin.
   

Beberapa tahun yang lalu, Sukmini juga aktif menjadi tukang Ngasag saat panen, turun gunung bersama ibu-ibu yang lain. Meski dirinya jauh lebih muda, Sukmini tak pernah merasa malu. Tak punya latar belakang pendidikan yang baik, membuat Sukmini mau bekerja apa saja. Itu juga juga jadi penyebab pertemuannya dengan pemuda bernama Kamto, yang menikahinya lima tahun lebih yang lalu. Pemuda yang pernah putus sekolah setelah bapaknya meninggal.
   
“Kau suka hidup di pegunungan?” tanya Kamto suatu kali.
   
“Ya. Tak sepanas di sini setidaknya.”
   
“Waktu kecil, aku ingin sekali memanjat ke sana,” katanya sambil menunjuk ke pohon yang seperti berdiri sendirian di atas pegunungan. “Dari jauh terlihat sebesar itu, entah seberapa besarnya pohon itu.”
   
“Itu pohon Lande, nama itu juga jadi nama dusun yang aku tinggali. Orang—orang di sana, lebih suka menyebut wilayah yang berdekatan pohon itu, pegunungan Lande. Besar sekali kau tahu?”

“Seberapa besar?”

“Diameternya lima puluh lebih langkah kakimu.” Kamto melongo. “Itu adalah rumah kehidupan bagi banyak jenis burung—burung. Banyak juga mitos.”

Itu adalah percakapan yang mengantarnya pada hubungan yang lebih serius. Setelah menikah, sesekali hidup di dua dunia, pegunungan dan dataran bawah. Satu tahun kemudian Sukmini mengandung, namun dokter  di dataran bawah memfonis Sukmini terkena gangguan kelenjar tiroid. Sementara banyak ditemukan kasus kelahiran cacat pada anak dari ibu penderita. Seketika jadi momok menakutkan pada diri Sukmini dan juga Kamto. Sekian do’a terus mengalir dari bibirnya. Saling menguatkan akan takdir yang telah digariskan Tuhan. Namun takdir bersuara lain, bayi pertama yang dikandungnya keguguran. Setelah itu tak ada tanda-tanda kehamilan lagi.
   
Saat musim tanam tiba, Sukmini dan Kamto turun gunung. Hampir satu bulan hidup di bawah. Mengolah sepetak sawah. Atau jadi buruh Tandur, menanam Winih di sawah milik orang lain lalu mendapat upah harian atau bebas tergantung kesepakatan.
   
Saat hidup di gunung, seringkali Sukmini mengajaknya melihat pohon itu dalam jarak dekat. Meresapi hawa yang langka. Pesona magis yang meliputi. Melompati akar—akar yang menjalar—jalar. Dan tanpa sengaja, Kamto menemukan sebuah belati berkarat, lalu membawanya pulang ke dataran bawah.
   
Beberapa hari sebelum tragedi besar tiba. Hujan hampir tiap hari tumpah tak tanggung—tanggung. Tanaman padi kena banjir dan harus ditanami lagi. Kolam—kolam ikan meluber, ikan—ikan berlompatan girang, merasa bebas namun tak tahu, mereka akan jadi binatang buruan warga untuk disantap. Genangan air di desa mendadak jadi wahana gratis.
   
Saat Kamto menengok kondisi tanaman padi miliknya. Hanya pucuk-pucuknya yang terlihat. Bahkan sebagian yang lain hilang terbawa banjir. Gerimis masih belum berhenti, Kamto mengangkat Tudung melihat ke arah gunung. Matanya mencoba menembus kabut di pegunungan. Dia tak melihat lagi pohon Lande yang perkasa itu. bahkan setelah diamati lebih teliti, ada perbedaan yang mencolok. Di tempat seharusnya pohon itu berdiri, warna tanah lebih mendominasi. Duga sangka sambar menyambar di kepala. Dengan langkah hati—hati namun tergesa—gesa, pematang sawah sangat licin bahkan hampir tak terlihat karena banjir. Setelah sampai mbulak Kamto sedikit berlari, melewati jalanan desa yang seperti wahana itu.
   
“Kamto, kondisi tanaman bagaimana?” tanya Wak Dul teriak sambil menyincingkan sarung.
   
“Hilang semua, Wak.”
   
“Kenapa itu?” Kamto mendengar suara dari ibu-ibu namun tak menghiraukannya.
   
Sukmini terperanjat melihat Kamto berlarian dengan gelagat tak biasa.
   
“Dik! Dik! Pohon Lande menghilang!”
   
Lalu Kamto meminjam motor berkarat milik tetangganya. “Sudah dua hari bengsin tak diisi,” kata pemiliknya. Rodanya menciptakan gelombang dan cipratan air di jalanan yang dilewati, anak—anak berteriak girang. Melewati empat desa, setelah desa berikutnya, tak terkena banjir. Karena sudah sedikit naik ke gunung. Terlihat ada beberapa orang yang berkumpul, membicarakan sesuatu keras—keras sambil menunjuk ke arah di ketinggian.
   
“Getarannya terasa, meski tak terlalu besar,” ungkap seorang.
   
“Sudah benar terisolasi.”
   
Setelah melewati satu desa lagi. Suasana lebih ramai lagi. Mereka berkumpul, ada sebagian yang berseragam SAR, ada TNI, masyarakat lebih banyak. Saat itu pula Sukmini dan Kamto menyaksikan pohon Lande yang perkasa telah tercerabut dari tanah beserta akar-akarnya, itu jadi sebuah pemandangan tak biasa yang langka tentu. Pohon dengan tinggi ratusan meter, posisinya kini terbalik. Akarnya menyeruak ke atas. Mungkin pergerakan tertentu pada longsor dan posisi tanah menyebabkan itu terjadi. Rumah permukiman tertimbun beserta longsoran tanah. Termasuk rumah ibu dan bapak Sukmini. Dedaunan yang begitu rimbunnya, hingga hanya kegelapan berada di bawahnya. Pemandangan yang mengerikan. Ada yang mengatakan, sekitar ribuan burung menjerit—jerit saat peristiwa terjadi. Suaranya terdengar hingga beberapa kilometer jauhnya.
   
Sementara Sukmini menangis. Melingkarkan tangan kirinya ke pinggang Kamto. Sementara kepalanya dia jatuhkan ke dada sebelah kanan suaminya itu. Kamto memandang wajahnya dari jarak dekat.
   
“Tenanglah, semua akan baik saja,” bisiknya.
   
“Aku bukan anak kecil lagi. Pohon Lande telah tumbang. Permukiman berada tepat di bawahnya.” Sukmini menangis.
   
Kondisi medan yang sulit ditempuh untuk penyelamatan. Tim dan relawan masih bingung menentukan jalur di dekat lokasi untuk mendukung evakuasi maupun pengiriman bantuan.

“Masih ada kemungkinan yang selamat, terutama di sisi timur yang tak terlalu terdampak,” kata seseorang entah siapa.

Kamto memutuskan untuk jadi salah satu relawan, sementara Sukmini pulang ke rumah di dataran bawah, hanya itu satu—satunya rumah yang dimilikinya sekarang. Cuaca hari ke hari sangat mudah berubah. Evakuasi belum bisa di lakukan. Sukmini hanya bisa memandang pegunungan dari mbulak persawahan. Awan kembali menghitam meliputi pegunungan, kelam. Angin bertiup pelan, mengirimkan kabar bahwa badai akan segera datang. Hari berganti lagi, belum ada kabar lagi tentang tanah kelahirannya. Sukmini sedikit memaksa diri, seorang diri. Berjalan menuju kampung halamannya. Namun setelah sampai, hati Sukmini hancur, mendengar kabar buruk yang tak pernah dia duga. Kamto jadi salah satu korban longsor susulan saat langit berwarna kelam. Takdir yang merobek jiwanya. Hingga dia kehilangan isyarat akan dirinya yang dulu. Seperti orang kurang waras, begitulah kata orang—orang.

Hari—harinya sekarang hanya berjalan tanpa tujuan. Kadang bersendiri di antara semilir angin persawahan, sambil bersenandung lirih. Hingga senja tenggelam semakin dalam. Dan senja ini, saat angin begitu lembut membelai rambutnya, juga desis tanaman padi yang bergesek dalam gelap senja, bunyi keruing hewan malam, jadi salah satu suara yang terakhir dia dengar dalam hidupnya. Sebuah belati berkarat yang ditemukan Kamto ditancapkannya sendiri pada dada sebelah kiri.(*)


Suyat Aslah, Cilacap 4/7/2020.




Supriyatno Bagaikan sebutir benih yang terkubur di bawah tanah di musim sunyi

0 Response to "SAAT SENJA TENGGELAM SEMAKIN DALAM"

Post a Comment

Iklan

Iklan Tengah Artikel 1

ads

Iklan