MAWAR HITAM DI PANGKUAN SARONI
Meski
kata makian selalu melesat cepat. Menusuki telinganya. Menganiaya batinnya yang
telah lama mati rasa. Selama jantungnya masih mau berdetak. Maka sudah dia
putuskan, dalam hari-hari beratnya untuk dihabiskan sepenuhnya dengan tabah,
bersama seseorang yang dianggap sedikit kurang waras oleh orang banyak. Laki-laki
yang lebih suka bergaul akrab dengan kursi panjang di depan rumah. Lebih suka mendengarkan
keriut pohon bambu di seberang jalan yang berhimpit rapat, menikmati suara
dedaunan bergesekan tertiup angin. Melihat segalanya hanya dengan
pendengarannya. Dialah Saroni, laki-laki buta yang telah jadi suaminya sejak
lima tahun lalu.
Sejak
Tuhan mencabut penglihatannya, pendengarannya lebih tajam bukan buatan. Ada
dalam jangkauan pendengarannya, kepakan sayap kupu-kupu yang melintas beberapa meter
darinya. Desiran angin bisa saja menjelaskan apa yang ada di sekelilingnya.
Menentukan letak seseorang berada hanya dengan merasakan gerak udara di
sekelilingnya. Hembusan angin bisa saja mengirimkan kabar untuknya tentang
cuaca dan musim. Bisa menentukan jenis pohon berdasarkan bisikan dedaunan yang berayun
dan bergesekan. Selebihnya mungkin hanya imajinasi liarnya saja, yang
barangkali nyata untuknya namun terdengar konyol oleh orang lain. Seperti
jeritan burung Cucuk urang akan terbahasakan menurutnya. Langit dalam
penglihatannya tak pernah mendung. Dunia punya lebih banyak warna yang tak
mampu ditangkap oleh mata orang normal.
Ada
banyak orang yang menyayangkan keputusan Lastri saat menerima Saroni. Terutama
orangtuanya. Singkatnya, selain buta sejak lahir, Saroni tak pernah jelas
asal-usulnya. Ada orang yang mengatakan dia adalah anak dari hubungan gelap
yang dibuang di tempat sampah sebelum dipungut oleh mbok Tiwen yang telah meninggal
setelah enam bulan pernikahan Saroni dengan Lastri. Ada juga desis lain bahwa
mbok Tiwenlah yang dicurigai pelaku hubungan gelap. Dan menjadi orangtua
tunggal yang membesarkan Saroni. Seperti biasa, berita penuh metasensasi
seperti itu, sangat mudah tersebar dan mengundang orang untuk menaikan
pendengaran, hingga semakin liarlah desisan orang tentang kehidupannya yang semakin
membuat mereka tersingkirkan saja.
Hampir
selalu Saroni jadi olok-olokan anak-anak saat berangkat sekolah. Karena
seringkali Saroni duduk dengan imajinasinya sendiri saat pagi hari, dengan
senyum dan tawanya sendiri, dengan bicaranya sendiri. Jadilah sebuah guyonan
anak-anak yang membuat mereka terbahak geli.
Jika
lastri kebetulan mendapati anak-anak yang sedang mengolok-olok. Lastri
memberinya teguran kecil pada mereka, sekedar memberitahukan, karena itu bukan
tindakan yang benar. Tapi mereka adalah anak-anak, yang menganggap itu sebuah
kesenangan dan terlalu mudah mengadu pada orangtua. Di saat seperti inilah Lastri
merasa terbuang. Beberapa kali Lastri menerima tumpahan kata pedas salah satu
orangtua dari anak. Juga di segi lain, Saroni tak pernah menganggap pembelaan
itu sebagai bentuk rasa cintanya dari Lastri. Lebih tepatnya Saroni hanya sibuk
dengan dunianya sendiri. Dunia dalam kepalanya sendiri. Sepeninggal mbok Tiwen,
adalah waktu yang sangat kentara mengubah Saroni lebih tak bisa mengontrol
emosinya, menguasai jiwanya. Bahkan mungkin kesadaran tak sepenuhnya dia
genggam. Hingga keadaan mengharuskan Lastri bersikap keras pada diri, di saat
semua orang ada banyak yang tak mengerti dan tak mau mengerti.
“Kau
perempuan baik, Lastri,” kata mbok Tiwen suatu kali.
Mbok
Tiwen tak pernah tahu, bahkan saat masih remaja, sebelum perpecahan keluarga,
Lastri pernah berada dalam dunia yang dianggap menyimpang oleh banyak orang.
Sejak remaja Lastri mulai berkenalan dengan kehidupan jalanan bersama
teman-teman yang suka bergadang. Bergaul rapat dengan mereka yang berlatar
belakang keras, sudah akrab dengan bahasa kasar. Kebiasaan buruk teman-temannya
perlahan meracuninya, jadi suka mabuk dan perokok berat. Bergaul dengan
kebebasan yang hanya bermakna sia-sia. Setidaknya ada dunia lain yang dijalani
diam-diam oleh Lastri setelah pernikahannya dengan Saroni dan disembunyikannya hingga
kini, sebagai efek dari kebiasaan buruknya itu. Malaikat maut akan
mendatanginya tanpa isyarat, pikirnya. Di waktu dan tempat yang tak pernah
terduga. Ketakutan itu selalu menggelayut di kepala Lastri.
Namun
ada satu lagi yang disembunyikan Lastri, bahkan dari mbok Tiwen sekalipun. Seseorang
yang paling berada di pihaknya sampai sepeninggalannya. Sebuah dosa yang pernah
dilakukannya dengan sadar, bukan dalam kondisi ekstase karena banyak minum.
Pernikahan dan baktinya pada Saroni diniatkannya sebagai penebus dosa itu.
Peristiwa yang menorehkan luka di hati Saroni jauh sebelum pernikahan; menyumpahi
Saroni yang buta, bahwa Saroni takkan pernah punya istri, ‘hanya orang bodoh
yang mau bersuami orang buta!’ Kata Lastri kala itu. Kali waktu, Saroni pun
pernah berjanji takkan memberitahukan itu pada mbok Tiwen.
Saat
peristiwa itu, Lastri tak pernah tahu dalam hati Saroni, setelah sumpahnya
terucap, Saroni berkata dalam hatinya, “Semoga esok, kau bersuami orang buta,”
batin Saroni waktu itu. tak terpikirkan oleh Saroni, bahwa di kondisi tertentu,
kata hati bisa jadi do’a yang mudah dikabulkan Tuhan.
Tuhan
telah menyatukan Saroni dan Lastri dengan cara yang ironis. Keduanya bisa saling mengerti dan tak
pernah mempermasalahkannya. Hanya kedua orangtuanya yang awalnya menolak
pernikahan itu. namun akhirnya luluh juga. Namun nalar dan insting Lastri
menangkap bahwa mereka setuju karena mereka sudah tak peduli lagi dengan
Lastri. Sudah mencium aroma perpecahan di antara kedua orangtuanya.
Dan
benar saja, semua berubah setelah pernikahan. Semua temannya menjauh. Keluarganya
benar-benar terpecah. Bapaknya minggat dan tak pernah terendus kabarnya. Ibunya
terang-terangan dengan Lastri sedang menjalin hubungan dengan laki-laki lain
meski perceraiannya dengan bapaknya belum jelas. Dan di waktu yang berdekatan, mbok
Tiwen meninggal. Peristiwa beruntun itu membuatnya hilang arah, ditambah Saroni
terbenam dalam dunianya sendiri yang sulit dipahami. Jadi lebih suka berbicara
kasar pada Lastri. Membentakinya dengan hamburan sumpah serapah. Namun seiring
bergulirnya waktu, Lastri mulai bisa menerima dengan dada lapang.
Untuk
menghibur dirinya sendiri, Lastri punya kesibukan baru, terutama saat pagi hari;
merawat bunga-bunga di depan rumah yang dia tanam sendiri. Segala macam bunga
berbagai warna. Ada yang dalam pot, ada juga yang langsung ditanam pada tanah. Terlihat
bersih dan rapi karena hampir tiap hari disiangi dan disirami. Dalam benaknya,
diapun bisa menciptakan dunianya sendiri yang indah.
“Aku
tak suka bau tanah yang membaur dengan air,” kata Saroni. Dalam kondisi semacam
ini, Lastri lebih sering bermain prasangka. Sangat jarang Saroni mengajak
bicara dengan detonasi santai, pikir Lastri.
“Apa
kau melihat matahari?” tanya Lastri mengimbangi. Namun sedikit merasa salah
ucap, kurang nyambung lebih tepatnya. Pertanyaan seperti itu kurang pas
ditanyakan pada orang yang tak punya indra mata, pikirnya lagi.
“Ya,
di sana, belum sepenuhnya muncul, namun akan purnama nanti,” jawabnya sambil
menunjuk ke arah kisi-kisi pohon bambu yang berhimpit dan silang sengkarut.
“Ah, ada burung gagak bertengger di atas
ayunan pohon bambu yang masih muda, mentiung ke tanah.”
“Ya,
aku melihat apa yang kau lihat.”
“Omong
kosong! Kau perempuan pembohong. Itulah gayamu dari dulu.” Kata-katanya mulai
ngawur saja. Sementara Lastri hanya diam. Lastri memang bohong. Hanya untuk
mengimbangi kata-katanya yang mungkin nyata untuknya dan tak nyata untuk orang
lain.
“Kau
sama busuknya dengan perempuan yang hembusan nafasnya berbau asap rokok. Dia yang
menyumpahiku sambil kudengar suara meludah di dekatku.”
“Hanya
aku seorang yang berhati sama dengan dia.”
“Kau
memang tak berada di pihakku.”
“Sudah
lama aku berada di pihakmu. Kau tahu itu sejak dulu.”
“Hanya
ada kebengisan di hatinya.”
“Tidak.
Ada penyesalan yang menyerangnya.”
“Akupun
menyumpahinya, kelak dia akan bersuami orang buta.”
“Aku
tahu. Dia sudah bersuami orang buta sekarang.”
“Biar
saja. Biar dia merasakan bagaimana jiwa yang tersiksa.”
Lastri
diam tak mengimbanginya lagi. Perlahan dia memangkas rasa sakit di hatinya. Hingga
yang tersisa hanya pemakluman pada Saroni.
“Kau
pernah merasakan buta sementara? Seperti saat kau berada di bawah terik
matahari kemudian masuk rumah yang pengap, lalu seakan ruangan menggelap.
Membuatmu terantuk benda yang tak kaulihat. Membuat kakimu berdarah sambil
mengumpat,” Saroni bercerita dengan nada lebih pelan namun seakan terasa sakit
di tenggorokan. Berhenti sejenak, lalu menarik nafas lumayan panjang dan
menghembuskan semuanya sebelum melanjutkan, “Setidaknya penglihatanmu kembali
setelah itu. sementara aku tak bisa berbuat banyak.”
“Beberapa
hari setelah perempuan itu menyumpahiku. Saat aku melangkah di jalanan, aku
berharap ada truk atau kendaraan lain yang menyambutku. Mungkin mati dengan tak
melihat luka dan darah sendiri jadi tak begitu menyakitkan.”
“Aku
tahu,” batin Lastri. Sorot mata lastri menembus masa lalu.
“Saat
suara berdecit mengerikan dari ban mobil besar mendekat ke telingaku, seseorang
dengan nafas yang sama, berbau asap rokok, menarikku keluar jalur hingga aku
tak mendapat sentuhan sedikitpun dari mobil besar itu. Hanya kudengar dengung
klakson yang berulang-ulang, umpatan sopir serta truk yang menggerung kesal.
Tak ada kata yang keluar dari orang dengan nafas berbau asap rokok itu. Dari
sentuhan tangannya. Aku yakin dia seorang perempuan. Tapi aku tak yakin jika
dia yang menyumpahiku.”
“Itu
aku,” batin Lastri lagi
Udara
pagi merambah tiap jengkal pori. Embun mulai habis menyongsong pagi. Mendadak
mata lastri melihat tiga anak kecil berangkat sekolah berjalan beriringan. Mereka
yang selalu mengolok-olok Saroni. Sesekali saling dorong, namun gelak tawa
selalu menyertai. Peristiwa biasa memang. Tapi terasa ada sensasi tak biasa
dalam gorong-gorong hati Lastri. Dan tak seperti biasanya, mereka tak
mengolok-olok Saroni.
Ada
senyum mengembang di bibir Lastri. Tangannya bergerak ke perutnya yang terasa
lebih berisi. Mengusapnya lembut sambil membayangkan sesuatu yang sudah lama
dinanti. Tekadang sesuatu bisa jelas tersampaikan hanya dengan isyarat. Dalam
benak Lastri, apa perlu isyarat untuk menyampaikan kehamilannya.
“Bunga
mawar melambangkan cinta.”
“Dalam
duniaku cinta adalah omong kosong,” balas Saroni segera.
Mata
Lastri bergerak memutar. Seakan memikirkan sesuatu. Peristiwa yang membuatnya
mengunci hatinya sejenak untuk semua laki-laki sebelum Saroni. Teman
sebergadangan yang mengungkapkan perasaannya. Dia yang memberinya bunga mawar.
Entah kenapa saat itu Lastri mencium aroma penghianatan setelah menerimanya.
Kisah dengannya berakhir tak jelas setelah kepergiannya dengan bebas.
***
Baca juga: Angkara Berahi
Keesokan harinya Lastri bangun terlambat. Pagi sudah tiba dan matahari bersinar hangat. Saroni sudah duduk di depan rumah dengan gurat di keningnya yang terlihat jelas, menandakan tahun-tahun penuh pikir dalam memahami dunia yang tak dia lihat. Dan tergeletak di pangkuanya setangkai mawar hitam.
Keesokan harinya Lastri bangun terlambat. Pagi sudah tiba dan matahari bersinar hangat. Saroni sudah duduk di depan rumah dengan gurat di keningnya yang terlihat jelas, menandakan tahun-tahun penuh pikir dalam memahami dunia yang tak dia lihat. Dan tergeletak di pangkuanya setangkai mawar hitam.
“Mawar
hitam yang indah dengan gelapnya.” Lastri memulai.
“Berbau
kematian,” ujar Saroni.
Mata
Lastri mendadak menangkap sosok laki-laki di balik rerimbunan pohon Majan yang
juga sebagai pagar depan rumah, lima belas meter dari posisinya berdiri. Bertengger
di atas motornya dengan sorot mata mengirimkan kebencian yang dalam. Lastri hanya
diam dalam tatap yang sama tajam. Perbedaannya ada kengerian dalam hati Lastri.
Di dunianya yang dulu kelam, telah mengajarkannya bahwa melukai tak memerlukan
jarak untuk mengambil peran. Laki-laki itu perlahan membidik ke jantung Lastri.
Desingan peluru yang terlepas bersamaan dengan pekikan Lastri menggempur udara
pagi dan telinga Saroni. Lalu dengan terburu-buru laki-laki itu pergi dengan
bau mesiu yang meracuni udara pagi, sebagian terselip di jaketnya sebelah kiri.
Sebagian lagi mampir di hidung Saroni.(*)
Suyat
Aslah, lahir di Cilacap tahun 1995. Bukunya yang sudah
terbit berjudul ‘Puspa’ (antologi cerpen, 2016) dan Sehelai Jiwa Sepi (novel,
2018).
0 Response to "MAWAR HITAM DI PANGKUAN SARONI"
Post a Comment