ANGKARA BERAHI - SUYAT ASLAH

ANGKARA BERAHI




Tergambar jelas kegelisahan yang larut dalam emosi di tiap bait puisi yang ditulisnya dengan suntuk. Meluapi tiap jengkal bahasa yang terangkai dengan gaya ekspresionisme brutalnya. Tentang pemerkosaan, ketergantungan obat, aborsi, dan bunuh diri. Tak peduli seberapa banyaknya puisi yang dihasilkan dan tanpa pembaca. Hanya seorang dokter yang memeriksa perkembangan jiwanya, melihat selayang pada puisi yang ditulisnya, lalu memandang wajahnya yang tak banyak ekspresi sambil mengucap kata yang bakal tak dihiraukan telinganya. Dokter yang mendorongnya menekuni dunia kepuisiannya yang mulai dicintainya sejak SMA. Puisi telah terbukti membuatnya bisa bertahan hidup sampai sekarang.

“Puisimu bagus, Ana. tapi cobalah sesuatu yang sedikit eksperimental. Sesuatu yang baru bisa membuatmu lebih hidup,” katanya suatu kali dengan klebat mata aneh.

Awalnya memang dokter itu membaca tulisannya. Memahami tiap kata sambil berjalan mondar-mandir dan manggut-manggut. Setelah selesai, dengan pandangan meraba wajahnya, memberinya motivasi yang tak mampu menarik mata dan perhatian Ana, lalu undur diri. Tapi hanya saat bapak dan ibunya menjenguknya. Hanya sepekan sekali, di luar waktu seperti itu, perangai sang dokter berubah total.

Wajah yang digerumuti brewok. Bau parfum yang menyengat, serta pandangan lekat yang sejatinya menekan di balik kacamata yang selalu disentuhnya, sebelum atau saat sedang bicara. Ana tak pernah memikirkan apa yang sedang terjadi. Ana adalah orang yang tak punya apa-apa untuk setidaknya dipertahankan. Bahkan sebelum berada di sini. Dia pernah berencana menghilangkan nyawanya sendiri. Dia sudah seperti tak punya rasa. Hatinya telah lama kosong belaka.

Depresi mental pasca melahirkan membuatnya dirawat di sebuah rumah sakit kejiwaan. Hanya orangtua serta bayi dalam gendongan ibunya yang sering mengunjunginya. Dulu orangtuanya memang bisa menemuinya langsung, memelukinya sambil sesenggukan ikut mengguncang tubuh Ana yang hanya diam tak mengerti. Namun sekarang, hanya sampai di ambang pintu. Orangtuanya hanya bisa melihatnya dari jauh, di ambang pintu dan berlalu. Ana tak tahu apa yang terjadi. Dan tak pernah memikirkannya. Yang ada di kepalanya hanyalah imajinasi yang diulang-ulang sejak dulu, yang membuatnya depresi berat dan dilarikan ke rumah sakit kejiwaan.

Seseorang yang merenggut paksa kehormatannya. Membuatnya merasa tak punya harga diri lagi di mata lelaki. Bahkan sebelumnya dia punya cintanya sendiri. Yang dirawatnya dengan sepenuh hati, hingga peristiwa itu menghancurkan semuanya. Meluluhkan cinta yang telah terbangun indah dalam sukma. Tekanan mental yang tak ter-elakan. Hingga Ana berani menantang bengisnya maut untuk mendatanginya. Meski pada akhirnya masih terselamatkan.

Ana yang dulunya selalu ceria diumurnya yag masih tergolong belia, kini lebih banyak tak bicara dan melamun tak jelas. Asyik dengan dunianya sendiri. Lebih suka mendengar suara helai kertas tersibak dan suara ujung pulpen yang mengguratkan jejak. Bergaul rapat dengan aroma tinta yang dibiarkannya menetap di hidungnya. Dunia sekitarnya tak lebih dari bayangan yang melintas. Tak perlu diikuti apalagi larut dalam lalu-lalang kesibukan. Sekali lagi, hanya ada bayangan yang selalu diulang-ulang dalam kepalanya, yang menjadikannya berlembar-lembar puisi yang ditulisnya.

Belakangan sang dokter lebih menaruh perhatian tak biasa pada Ana. Tentu saat tak ada siapapun. Seperti menyibak lembut rambutnya yang menutupi mata yang tak pernah bicara. Mengelus pipinya yang bersih, hingga bibir tipisnya yang selalu terkatup indah. Di saat itulah Ana mencium aroma yang tak biasa. Bau khas yang juga pernah menetap di hidungnya. Sampai ke pucuk penciuman baru dia benar-benar merasa, bau yang identik. Matanya menebar ke segala arah. Mencari asal sumber bau itu. namun dalam beberapa jenak, bau itu menghilang. Kembali Ana mendeteksi dengan mempertajam penciuman. Memilah-milah bau yang ada. Hanya segurat aroma yang diindra. Kali ini lamat-lamat, bercampur dengan aroma tinta dan parfum sang dokter. Sementara syaraf pendengarannya mendadak menerima impuls aksen unik milik dokter. Kepalanya ikut bergerak menangkap irama suara, mendeteksi seberapa tebal kemiripan aksen suara yang keluar dari mulut sang dokter. Matanya terus membaca tiap inch gerakan, mengikutinya hingga sang dokter pergi.

Seperti ada yang telah melekat dalam benak Ana. Sesuatu yang mengetuk dan membuka ingatannya. Jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya saat mencium bau itu. Dia ingin mengikuti ke mana aroma itu pergi, tapi terlanjur lesap tak terpetakan. Udara tak lagi mampu jadi pengantar ke pucuk penciuman. Hilang bersama kepergian sang dokter.

Setelah itu, bayangan di kepalanya seakan berbisik ke telinganya. Menceritakan kembali kisah yang membuatnya berada di tempat penuh orang sakit jiwa. Kembali dalam benaknya tereka ulang kejadian paling menyiksa hidupnya.

“Kau baik-baik saja, Ana?” tanya sang ibu kali waktu.

Diam adalah jawabannya. Air mata memperjelas keadaannya. Ana mulai jarang bicara dan memenjarakan diri di kamar. Tentu orangtuanya lebih perasa tentang perubahan drastis putrinya yang periang dan mudah bergaul. Sementara bapaknya lebih banyak diam dengan pikirannya sendiri. Tentu dengan gelagat cemas dan khawatir terhadap kondisi Ana yang tak biasa.

“Ana,” ulang ibunya lembut.

“Semua perempuan takkan kuat menerima ini, bu,” jawabnya lirih.

“Apa sebab hingga kamu berkata seperti itu?”

“Tak ada yang lebih menyakitkan selain kehilangan harga diri, kehormatan, bu.”

“Tiap perempuan terlahir dengan sebuah kehormatan, Na. kaupun memilikinya.”

“Tidak untuk sekarang, bu.”

“Tidak, Na. Kau masih perempuan terhormat sekarang.”

“Tidak setelah direnggut orang lain, bu,” jelasnya lirih, merintih. Dengan deraian air mata, Ana pun menceritakan sepotong demi sepotong kisah yang menimpanya itu.

Benar-benar berada di titik terbawah dalam keterpurukkan. Bahkan suatu hari, Ana mencoba bunuh diri, ditemukan tak sadarkan diri di kamar mandi, dengan sisa deterjen cair mengalir di dua sudut bibirnya. Namun masih tertolong setelah dibawa ke rumah sakit.

Meski tak bisa menyembunyikan kekhawatirannya, orangtuanya tetap menemaninya dalam sembilan bulan hari-hari yang beratnya untuk tetap hidup, bersama bayi yang dikandungnya. Selama itu juga Ana benar-benar mengucilkan diri dari masyarakat. Sempat juga Ana mengutarakan idenya untuk melakukan aborsi. Tapi ibu menolaknya mentah-mentah, sementara bapaknya lebih banyak diam, namun berada di pihak ibunya.

Setelah anak itu lahir, bayi perempuan dengan bibir yang mengatup nyaris sama dengan bibir Ana. Ada segelintir senyum saat Ana menyadarinya. Namun saat menyelami matanya, Ana pun menyadari, itu 100% turunan dari laki-laki tak bertanggungjawab itu. Ada segumpal dendam membakar hatinya. Menyakiti lagi hati yang lama luka. Namun di lain sisi, hatinya terluluhkan oleh paras lucu sang bayi. Hanya bisa menahan sesak yang masih tersisa di dada.

Tapi bayangan itu selalu tereka dalam kepalanya, di hari-harinya, terutama saat Ana menggendong bayinya, saat memandang matanya yang berkedip pelan. Juga ada semacam kecenderungan tak wajar saat memandangi bayinya lekat-lekat. Bayi yang sebelumnya akan dia habisi saat masih dalam rahimnya.

Hidup dalam kesepian mengajarkannya betapa berartinya orang-orang di sekitarnya dulu. Keadaan membuatnya benar-benar tertekan berat. Akhirnya, pertempuran melawan tekanan mental tak bisa dilawannya. Emosinya tak lagi stabil. Kadang menangis dan bicara sendiri. Mengumpat tak jelas tanpa lawan bicara. Hingga orang tuanya mengambil alih sepenuhnya merawat anak Ana. Akan terlalu berbahaya jika ada dalam dekapan Ana yang dalam kondisi mental naik-turun seperti itu, apalagi salah satu sebab depresi mental ada hubungannya dengan sang bayi yang bahkan sebelumnya akan diaborsi.

Melihat kondisi yang makin menjadi saja. Dan terlalu banyak gunjingan sana-sini dari para tetangga. Dengan tak menutup-nutupi keadaan anaknya yang sebenarnya. Orangtuanya sepakat untuk membawanya ke rumah sakit kejiwaan. Tentu tak ada orangtua yang mengharapkan ini semua terjadi. Lebih-lebih dia adalah anak semata wayang.
                                                                          

                                                               ***

Keesokan harinya, sang dokter menyambanginya lagi. Saat Ana suntuk menulis dengan pulpen yang hampir habis tintanya. Puisi yang dia beri judul “Angkara Berahi” belum tuntas ditulis. Namun sudah jelas melukiskan tentang laki-laki brengsek yang telah menghancurkan hidupnya. Hukuman yang pantas untuknya adalah kematian secara perlahan. Puisi yang menggebu-gebu penuh kebengisan kata makian. Dendam yang membakar jiwanya.  


Baca juga: Sebuah Pesan Lewat Bekas Bibir Pada Gelas

Seperti biasa, sang dokter memandangi sehelai puisi itu. kali ini mencoba membacanya dari awal. Saat sampai pada pertengahan bait, matanya berhenti bergerak. Enggan melanjutkannya, namun mencoba bersikap biasa.

“Kamu tahu Ana, hal buruk yang dituliskan masa lalu biarlah waktu yang menghapusnya. Menulisnya ulang hanya akan mengorek luka lama.”

“Aku ingin mencari penyebab luka, maka aku mengoreknya.” Itu adalah kata Ana yang tak disangka. Sangat jarang Ana berucap nyambung dengan apa yang sedang dibicarakan orang lain.

Sang dokter mendekat dan menatapnya geming. Memandang mata Ana yang tak biasa. Kembali Ana mencium bau khas bercampur keringat. Ana mengurai semua bau yang ada, menyingkirkan bau yang lain. Kali ini yakin dalam hatinya, bau itu memang berasal dari tubuh sang dokter. Mengingatkannya pada seorang lelaki brengsek. Bau yang melekat di tubuh seseorang yang merenggut kehormatannya. Meski dulu tubuhnya lebih kurus dan tak brewokan setebal itu. namun aroma itu memperkuat keyakinannya. Ada gemuruh dendam menggulung di hati Ana.

“Kau sudah menemukannya?” tanya dokter meremehkan.

“Ya,” jawab Ana lirih. Namun matanya menatap tajam.
   
Sebelum menjawab sang dokter menghela nafas panjang, lalu berkata, “Dengar, aku tak peduli dengan puisi yang kamu tulis. Seberapa banyak kata makian yang ada. Itu takkan menyakitiku apalagi membuatku gentar. Kau lihat dirimu yang sekarang. Kamu bukan siapa-siapa. Hanya perempuan lemah dan tak waras. Kau tak bisa berbuat apa-apa. Bukan Ana yang dulunya cantik dan berpengaruh, banyak lelaki ingin meraihmu. Dan aku, Aku adalah satu-satunya laki-laki yang bisa meraihmu, Ana,” katanya sambil mendekatkan ke telinga Ana dan diikuti tawa iblisnya. Lalu melanjutkan, “Puisimu mampu membuatmu hidup, namun aku tak pernah bilang jika itu mampu mengubah masa lalumu. Hanya akan membuatmu merasakan luka seumur hidupmu. Sebaliknya, masa lalumu hanya menjadi sebuah kepuasan dalam hidupku.” Kembali tertawa.
   
Ana terlumat emosi. Berteriak keras sambil bergerak brutal. Bahkan sang dokter yang terkejut terhempas ke lantai karena dorongannya. Ana menggunakan apa saja yang ada di sekitarnya untuk melukainya, tanpa memberinya waktu membela diri. Teriak sang dokter memecah ruangan itu. Tangannya memegangi matanya yang berlumur darah. Dengan genggaman erat, Ana memegang pulpen yang berlumas darah dan, menghunjamkan kembali ke mata yang satunya dan terus membabi buta, menghantamkan kepalanya berulang-ulang ke lantai hingga tak sadarkan diri, mematahkan ruas-ruas tulangnya hingga mendengar nafas terakhirnya. Setelah itu, dengan pulpen yang berlumas darah, Ana menyelesaikan puisi yang belum tuntas ditulisnya.(*)

Suyat Aslah, penulis kelahiran Cilacap tahun 1995. Mulai menjadi penikmat sastra sejak SMA.






 

Supriyatno Bagaikan sebutir benih yang terkubur di bawah tanah di musim sunyi

0 Response to "ANGKARA BERAHI"

Post a Comment

Iklan

Iklan Tengah Artikel 1

ads

Iklan