BUKU KENANGAN - SUYAT ASLAH

BUKU KENANGAN





Segerombolan awan terlihat sibuk mengepung malam. Sesekali terlihat segumpal awan tebal dan gelap menyerupai kapal perang yang siap menghujani bumi dengan misil-misil air yang tak bisa kuhitung jumlahnya. Terlintas awan tipis yang mengiringi awan tebal. Seperti hembusan asap yang menggebu—gebu  dari belakang kapal. Hampir setiap malam awan berpatroli melintasi cakrawala di atas tempat aku duduk. Ada banyak malam dalam keterjagaanku di bawah langit yang sama, di teras luar rumahku. Di sinilah aku duduk. Di sinilah aku akan memulai menjelajah melampaui waktu. Itu karena waktu telah melampauiku, maka aku juga ingin berbalik melampaui waktu. Masa lalu yang akan aku tuju.

Perlahan dan diam-diam hawa panas menjalar keseluruh tubuh. Alam seperti jelas mengabarkan bahwa langit yang muram akan menumpahkan segala bebannya itu. Suasana begitu hening. Hanya terdengar derikan lirih serangga yang seperti sebuah lagu wajib saat malam tiba. Bahkan angin nyaris diam tak bergerak. Di sampingku berdiri sebuah lilin kecil seukuran jengkal yang kutanam pada sebuah tatakan kayu. Lilin kecil yang akan menemaniku pergi ke dunia lain, yang bernama masa lalu. Cahayanya tidak terlalu terang, namun cukup menerangiku seorang diri.

Kudekap buku yang sudah berselimut debu. Mungkin kau tak bisa mencerna apa yang tertulis di situ. Tapi bagiku, hanya kudekap saja sudah cukup terpahami sepenuhnya. Buku Kenanganku, masa laluku. Berisi serpihan-serpihan masa lalu yang terlampir dalam lembaran-lembaran kertas hingga membentuk sebuah buku yang tersimpan seperti pusaka bagiku. Di bagian sampul penuh dengan guratan para sahabat di kala kita bersama dulu. Dulu guratan itu hanyalah coretan tak bermakna. Sekarang semua itu menjelma menjadi sebuah rajutan bahasa yang menjerat jiwa, menyeretku, lalu melemparkanku kembali ke masa lalu yang makin berlalu.

Kabut pekat tak mengizinkan sepercik cahaya di langit menyapa bumi. Seperti itu juga kabut waktu yang makin memudarkan sosoknya secara perlahan. Namun tak benar-benar lenyap. Aku cuma ingin menghabiskan malam dalam keterjagaanku meski hanya dengan sosok maya darinya.

Di balik sampul, kulihat 19 namanya tertumpuk disitu. Tiap kali aku melihat satu nama, aku harus memutar otakku 2 kali putaran hingga aku bisa menangkap wajahnya itu. Tapi, aku tak bisa mendefinisikan tentang dirinya untuk saat ini. Mungkin sama seperti yang dulu, atau sedikit berubah.

Buku Kenanganku yang kelabu. Tersimpan sejuta tanya dan asa. Mungkinkah ada sisa asa yang bisa kudapatkan dari masa laluku ? itu juga salah satu pertanyaanku yang masuk dalam sejuta tanya itu.

Nyaris dua tahun selang waktu terlalui. Tapi itu hanyalah rentangan kecil dari sang waktu. Kini waktu makin merentang memberi celah longgar bagi perpisahan di antara kita. Perpisahan yang melahirkan kenangan. Kuhitung sudah 579 kali lebih terang mengubur malam, malam menyapu terang. Namun setiap partikel-partikel darinya semakin lekat dan pekat di setiap sudut otakku.

Sementara bulan belum juga timbul dari kerumunan buih di langit. Hembusan angin yang membaur dengan cuaca, membuat api lilin melidah api. Menjilat-jilat dinginnya udara malam. Langit terlihat begitu pekatnya. Hingga tak ada selembar cahaya pun yang membongkar gundukan awan di langit. Angin mulai berhembus lemah lembut mengusir hawa panas yang menyengat kulit. Pelan-pelan awan pekat meluluhkan diri. Titik-titik kecil air merintik melalui celah-celah udara malam. Malam ini, kenanganku akan mengucur bersama deraian gerimis yang perlahan menjadi hujan.

Baca juga: Mawar Hitam Di Pangkuan Saroni

Sketsa wajahnya ada di bentangan lembar pertama. Kulihat ada sosok indahnya di sana. Di wajahnya ada yang tergores senyuman. Dalam hatiku ikut tersenyum. Saat itu, aku berharap Tuhan juga ikut tersenyum. Sebuah wujud 2 dimensi yang tak ubah seperti pantulan wujud dari masa lalu. Yang kuingat dua sahabat di sebelah kanan dan kiriku, seperti penjelajah ruang dan waktu juga mudah membaur. Berbeda dengan diriku yang tinggal tersembunyi di celah bumi. Aku bagai sebutir benih terkubur di bawah tanah di musim sunyi. Aku tak bisa memuntahkan kata-kataku di depan banyak orang, aku lebih memilih memendamnya rapat di kedalaman yang teramat dalam hingga tak ada yang bisa mendengarku.

Tiga anak dengan tatapan cerdas ada di depanku. Pandangan matanya penuh ketenangan. Dua wajah sebenderang bulan. Mungkin ritual air suci telah menyucikan jasad dan jiwanya. Mereka yang setia sebagai pengejar penghargaan abadi dari Tuhan. Beberapa yang lain, dengan khas tutur kata melesat tak tertahankan bagaikan rudal Patriot bertubrukan menghantam sasaran. Kicauannya terang tanpa ada keraguan. Raut keceriaan selalu tertempel di wajahnya. Aku belum bisa seperti mereka. Tertawa lepas tanpa beban, hingga menguapkan segala beban yang ada.

Lembaran ketiga sampai akhir, penuh kisah. Ceritanya biasa saja memang, tapi setiap bait kalimat mengandung arti yang tak terkira maknanya. Dengan pencahayaan lilin yang redup, aku berusaha menajamkan pandanganku. Mataku semakin jauh menjelajah. Menelusuri setiap jengkal bahasa yang tersurat dan berusaha untuk menyiratkannya. Meski terkadang perpisahan mewariskan sesuatu yang tak bisa kupahami hingga kini.

Semua terlalu cepat berlalu. Seperti mimpi. Mimpi yang menyimpan misteri kehidupan yang tak bisa kuprediksi sebelumnya. Semakin larut, pikiranku semakin memusat pada satu titik. Masa lalu. Dulu, sekali ketika aku baru mengenalnya, jiwaku menangkap sesuatu yang segar. Ketika mereka menyapaku seakan semesta yang menyambutku. Mereka membawaku masuk ke dalam dunia yang belum pernah kujamah sebelumnya. Bersama menyelami rahasia hidup yang belum terungkapkan.
Namun semua itu kini lenyap, bersama cerita yang terhenti. Kini aku hanya bisa menangkap serpihan-serpihan masa lalu itu dalam kepalaku. Kusimpan banyak kenangan yang kini bersemayam di otakku. Kenangan yang akan semakin berharga. Kuharap kenangan itu akan tetap bersarang di memoriku. Hingga waktu merayapi dinding ingatanku.

Sekarang kita di pisahkan oleh sekat ganda jarak dan waktu. Lenyap sudah kebersamaan kita itu. Namun akan kucoba tetap mengingat-ingat namanya,  yang seperti mantra tak terjabarkan. Sekali kurapal, jiwa ini seperti dirasuki kekuatan besar dari masa lalu.

Meski begitu berharga, kenanganku juga seperti sebuah luka maha pedih yang kurasa. Begitu juga seperti kata pujangga. Kisah-kisah itu kadang membuatku malu pada diriku sendiri. Aku telah membiarkan keangkuhan dan kebodohan menguasai pikiranku. Aku tak tahu keangkuhan bisa tercipta dalam diriku. Tak bisa kupungkiri memang, kebodohanku, kesendirianku, keangkuhanku mungkin membuatnya bingung bahkan benci padaku. Aku tak bermaksud memberinya jarak. Diriku sulit dipahami. Bahkan aku sendiri tak bisa menafsirkan diriku sendiri. Hari-hari kujalani tanpa kata, makna dan warna. Aku seperti tak memiliki masa lalu. Beginikah aku menghabiskan waktuku? aku lupa kepada masa depan. Aku seperti telah menghirup bau racun yang aku buat sendiri. Aku tak bisa membayangkan jika aku meminum racun itu, mungkin hidupku akan benar-benar hancur. Entah kapan aku bisa menyelamatkan jiwaku yang hampir mati.

Hujan telah ditumpahkan dari langit. Langit yang pekat tampak lebih terang. Butiran bintang mulai menghiasi langit. Tinggal hawa dingin yang terasa menusuk tulang. Hening dan sepi semakin menjadi. Tak ada suara berlalu-lintas. Bahkan tidak lagi ada derikan serangga atau tetesan air hujan yang menghantam dedaunan. Hanya membran kegelapan yang membungkus kesunyian. Putaran malam makin melilit sang waktu. Lilin kecil yang seukuran jengkal, ternyata telah tergerogoti perlahan-lahan. Hanya tersisa seruas jari. Malam ini aku menjamah masa lalu. Masa yang menjatuhkan setumpuk tanya. Bahkan ada tanda tanya sangat besar menggantung di otakku. Tapi biarlah pertanyaan itu hanya untukku.

Sekarang semua itu telah berlalu, mimpiku telah tenggelam, bersama jiwa yang mengendap beku. Telah kucecap setiap butiran kenangan itu. Meski hingga rintihan menggema di lorong-lorong kerinduan jiwaku. Malam ini aku hanyalah sebatang perasaan terbalut malam berlapis rindu berlumur sepi. Biarlah perpisahan ini menjadi seperti bintang-bintang yang terlihat indah karena mereka terpisah dan bertebaran dilangit.(*)

Suyat Aslah—2016.




















Supriyatno Bagaikan sebutir benih yang terkubur di bawah tanah di musim sunyi

0 Response to "BUKU KENANGAN"

Post a Comment

Iklan

Iklan Tengah Artikel 1

ads

Iklan