Lukisan Noda di Tubuh Gendhis
Noda itu tak hanya sekedar Noda. Tak hanya sekedar Noda yang disebut Noda. Tak hanya sekedar Noda yang terlihat mengotori wajah dan tubuhnya. Tak hanya sekedar Noda yang mudah dihapus usapan tangan yang terbasahi air mata. Bahkan air matanya yang terus mengalir membasahinya tak jua menghilangkan Noda.
Sudah beberapa hari sebelum hari ini dia suka melamun. Tak ada gunanya mempertahankan ini, pikirnya. Tak mungkin juga hanya diam dan bertahan. Ada semacam gejolak yang selama ini dia pendam. Kesabaran memang tanpa batas. Tapi dia masih manusia, dengan segala keterbatasannya.
Dia geming 50 cm di hadapan cermin. Matanya masih menangkap bayangannya sendiri. Meraba pelan setiap Noda yang tak seharusnya terlukis di tubuhnya. Noda yang menyakitkan. Yang juga membuat wajahnya tak semanis namanya. Gendhis.
Sudah enam menit dia duduk di atas dipan, menghadap cermin besar yang melekat pada lemari kusam tersaput debu dan noda merah. Memandang diri yang terlihat asing. Juga wajah yang terlihat retak. Itu karena cermin di hadapannya memang retak. Genggamannya yang sebelumnya sangat erat, mulai melemas. Pikirannya melayang di antara bercak Noda dan bekas ludah di wajah. Ludah yang selalu terlontar ke wajahnya saat suaminya melukis Noda di tubuhnya.
Parman, laki-laki yang menikahinya atas pilihan Bapak Gendhis. Sekali lagi, atas pilihan Bapak Gendhis, tak ada alasan perasaan istimewa yang membuatnya menerima Parman. Satu-satunya alasan adalah, dulu belum ada keberanian menentang Sang Bapak yang juga seorang Pelukis Noda.
Penyesalan selalu hadir di tiap detak jantungnya. Keinginannya dulu, memiliki suami bukan seorang Pelukis Noda tak menyata. Lebih tepatnya keinginan yang mendekati dendam. Siapa pun, seorang perempuan pasti tak ingin suaminya jadi Pelukis Noda. Bahkan Pelukis Noda adalah seseorang yang paling Gendhis benci. Sejak dia punya Bapak angkat seorang Pelukis Noda. Ya, saat dia dan Ibunya jadi korban pelampiasan Bapaknya saat melukis Noda. Noda yang diciptakan dengan emosi dan tenaga raksasa seorang laki-laki.
Sekarang sudah tiga bulan Gendhis tinggal tak satu rumah dengan orangtua. Sementara menempati rumah almarhum Pakde dan Bude Gendhis, hanya bersampingan dengan rumah Bapak dan Ibunya.
Kebetulan, kedua anak Pakde telah berkeluarga dan punya rumah sendiri. Anak pertama laki-laki tinggal di Sukabumi, sementara yang satu perempuan memilih bermukim di luar Jawa, di Ternate. Rumah yang kini ditinggali Gendhis memang sengaja tak dijual atas kesepakatan keduanya, alasannya jika keduanya ingin pulang tak perlu lagi mencari tempat tinggal. Dan tiap sebulan sekali, sebelum tanggal tua, mereka mengirimi uang untuk pembayaran listrik, sekaligus pemberian uang di luar itu, hanya sebagai balasan atas kesediaannya menjaga dan merawat rumahnya, semuanya dipercayakan kepada Ibu Gendhis, sebagai saudara terdekat.
Tapi Bapak Gendhis selalu mengambil alih semua, termasuk semua uang kiriman. Menghabiskan semua uang itu di meja perjudian. Belakangan malah Parman ikut-ikutan minta bagian. Parman sendiri lebih suka menggunakan uangnya untuk minum-minuman keras bersama para bajingan kampung. Hati Gendhis terasa dipelintir. Hidupnya dihadiri oleh dua orang yang sama brengseknya!.
Bulir air matanya terus ada. Mengalir di jalur yang sama. Masih geming. Tapi tatapannya perlahan berubah. Tak setegas sebelum dia geming di hadapan cermin. Saat emosinya meledak, menyapu tiap ketakutan yang terserak di pelupuk. Tangannya mulai lemas menggenggam benda purba yang dia ambil dari dapur. Benda yang masih segar, baru digunakan untuk melukis Noda!.
***
Sejak kecil Gendhis telah berkenalan dengan Noda. Terutama saat melihat Bapaknya melukis Noda di tubuh Ibunya. Sangat mencekam di matanya yang mungil mengembun. Tapi yang bisa dilakukannya hanyalah diam atau bersembunyi.
Gendhis kecil adalah pribadi yang lebih banyak diam. Namun bukan berarti penakut. Umur tujuh tahun Gendhis mulai masuk sekolah dasar. Tak seperti teman-temannya, hari pertama masuk sekolah Gendhis berangkat sendiri. Tak diantar jemput seperti yang lain. Bahkan ada yang menangis minta ditemani ibunya duduk di sebelahnya saat pelajaran, sampai pulang.
Gendhis pun sangat tahu masalah keuangan di rumahnya. Ibunya bekerja melebihi Bapaknya yang hanya bekerja untuk dirinya sendiri, Lebih banyak hari yang hanya digunakan untuk menghabiskan uang hasil bekerjanya bersama para pengangguran lain di meja judi. Tak peduli kebutuhan rumah apalagi memikirkan biaya sekolah Gendhis.
Terkadang Ibunya memberanikan diri meminta hasil bekerja Bapak. Meski Ibunya tahu muntahan kata-kata pedas pastilah diterimanya saat itu juga. Bahkan Bapaknya tak segan menyiram kopi panas kepada Ibu Gendhis. Tapi sebaliknya, jika Bapaknya meminta sesuatu, kopi misalnya, jika menunda-nunda keinginannya pastilah akan jadi akhir yang buruk.
Untuk memenuhi kebutuhan dapur, sudah pasti tak bisa mengandalkan Bapak. Ibu selalu berpikir keras sendirian. Tiap hari Ibu berjualan jamu, kebetulan hanya ada empat macam: jamu Beras kencur, Kunir asem, Temulawak dan Pahitan. 1.500 rupiah satu gelas, sudah bisa dikira berapa uang yang didapat tiap harinya. Pun jika jamu habis, sudah pasti tak sampai ratusan ribu, 40-50 ribu rupiah sudah termasuk banyak. Tapi tak pernah cukup menutupi kebutuhan.
Sejak kecil Gendhis biasa dicekoki jamu Pahitan, jamu paling pahit, tapi punya khasiat paling banyak dibanding yang lain.
“Hidup kita memang pahit, Ndhis. Tapi anggap itu seperti jamu yang terasa pahit tapi baik untuk tubuh,” kata Ibu suatu kali.
Ibu selalu bangun pagi sekali, untuk membuat jamu, Gendhis pun ikut bangun. Meski tak banyak membantu, setidaknya jadi teman bicara ngalor-ngidul di sepertiga malam. Sementara Bapak seringkali baru pulang nglayap malam.
Saat akan berjualan, Ibu selalu berangkat jalan kaki bersama dengan Gendhis berangkat sekolah, dan berpisah di perjalanan. Itu sudah jadi kebiasaan setiap harinya.
Dengan membaca letak matahari, Ibunya selalu menyempatkan mampir ke sekolah Gendhis di waktu yang tepat, saat istirahat. Seringkali Gendhis baru diberi uang saku saat Ibunya mampir ke sekolah. Tentu setelah berkeliling dan mendapat beberapa rupiah. Selain itu beberapa guru Gendhis juga sudah jadi langganan jamu Ibunya.
Tapi Bapak tak terlalu memikirkan keadaan rumah. Lebih banyak tak di rumah. Saat para bapak yang lain membanting tulang untuk kehidupan keluarganya, Bapaknya malah ‘membanting’ anak dan istrinya sendiri.
Baca juga: Buku Kenangan
Gendhis seringkali menyaksikan keahlian Ibunya yang mampu menguasai segala jenis perubahan ekspresi wajah. Nyaris sempurna kamuflasenya. Gendhis tahu, sejak dulu Ibunya lebih suka menyimpan sendiri dukanya. Tak pernah menunjukkannya pada Gendhis.
Pernah suatu kali saat baru pulang sekolah, sampai di depan rumah, dia mendengar benda pecah dari dalam rumah, lalu melihat Bapak keluar rumah dengan mata merah dan langkah marah. Pintu ditutup dengan tenaga raksasa. Pot berisi tanaman bunga kesayangannya yang dia rawat berbulan-bulan pun ikut jadi sasaran kekesalan kakinya. Sempat juga Gendhis dimaki dengan kata sangat kasar. Saat itu umurnya masih 8 tahun, tapi itu sudah hal biasa dalam hidup Gendhis. Dan yang pertamakali dia pikirkan bukanlah pot bunga miliknya, sang Ibu pastilah dalam keadaan tak baik-baik saja.
Ada ketakutan dalam setiap langkah cepat Gendhis. Pintu dia buka dengan tangan cemas. Alangkah terkejutnya Gendhis saat mendapati Ibunya sedang bersenandung lirih sambil mengelapi tubuh meja yang basah tumpahan kopi, Ibunya bersikap seperti tak terjadi apa-apa. Tapi Gendhis yakin kopi itu ditumpahkan Bapak saat mendengar benda pecah, sebelum keluar rumah dengan marahnya.
“Apa Ibu baik-baik saja?” tanya Gendhis dengan tatapan menerka.
“Bukankah Ibu selalu baik-baik saja, sayang?” ujarnya sambil tersenyum. Bagi Gendhis tak mudah menafsirkan apa yang ada dalam senyum Ibunya.
“Benarkah? Bahkan saat Bapak menempeleng Ibu, menampar, menendang, memukuli Ibu dengan pipa paralon, membentaki Ibu, bahkan menggoreskan kaca di wajah Ibu. Gendhis juga pernah melihat air mata di pipi Ibu. Bukankah itu pertanda Ibu tak selalu baik-baik saja?” mata Gendhis mulai berkilat air mata. Tapi Ibunya segera menyapu air matanya sebelum membelah kedua pipinya.
“Aku tak mengerti, Bu. Saat Bapak berlaku kasar, kenapa Ibu cuma diam?”
“Apa Ibu harus ikut-ikutan bersikap kasar? Itu berarti Ibu membuka pertempuran baru yang lebih besar bukan? Itu tak akan usai sampai salah satunya kalah, ataupun mengalah. Dan pada akhirnya kau juga akan jadi korban, Ndhis.”
“Kalah atau mengalah, bahkan sekarang kita sudah jadi korban, Bu. Bapak itu sudah keterlaluan.“
“Bukankah kalah setelah berperang itu lebih baik, daripada menyerahkan senjata sebelum berperang. Bukankah Ibu telah mematok harga mati, yaitu kekalahan?”
“Apakah itu berlaku dalam rumah tangga? kau berpikir terlalu jauh, Ndhis.”
“Aku yakin Ibu tak menginginkan semua ini bukan?”
“Apakah dulu tak ada pilihan lain, selain … Bapak?” Gendhis terus menimpalinya dengan pertanyaan dan pernyataan. Ibunya hanya tersenyum dan memeluk Gendhis dengan sayang.
“Dengar, Ndhis. Tak ada ruang merdeka bagi siapapun yang telah berumah tangga. Ibu hanya berpesan jangan mudah diperdaya cinta dan berhati-hatilah jika memperdaya cinta. Kau akan mengerti nanti, betapa dahsyatnya tipu daya cinta. Bahkan hal buruk yang melekat pada yang kau cinta tak akan bernilai buruk jika cinta telah menguasaimu. Itu akan menyesatkan pikiranmu. Pun jika kau tak berhati-hati dalam mengendarai cinta, kau bisa celaka nanti.”
“Apakah itu berarti cinta telah memperdayai Ibu?”
“Hm, udah dulu ya, Ibu ngantuk,” melepas pelukannya, dikecupnya dalam-dalam kening Gendhis.
Umur 18 tahun, Gendhis masih belum berani meladeni sikap keras Bapak, selalu terpaksa menerima dan hanya kesal di belakang. Bahkan saat Gendhis akan dijodohkan oleh Bapak dengan anak juragan buah desa sebelah, Parman, seperti tak ada pilihan lain selain menerima. Apalagi saat melihat Bapak menampari Ibu lalu menguncinya di dalam kamar, karena sempat menyatakan ketidaksetujuannya.
Akhirnya Gendhis menerima Parman, bukan karena diperdaya oleh cinta. Lebih karena keterpaksaan. Tapi dengan mengajukan satu syarat pada Bapak: jangan sakiti Ibu lagi. Dengan ekspresi meyakinkan, Bapak menerima syarat itu.
Tapi akhir-akhir ini Gendhis tahu, dua bulan setelah pernikahan itu, Bapak melanggar perjanjian itu. Gendhis juga tahu Parman punya hobi yang sama dengan Bapak, melukis Noda. Tak hanya sekedar Noda yang disebut luka. Tak hanya sekedar luka yang membekas sementara. Bahkan Noda itu akan membekas di jiwanya dan tak akan mudah terhapus hingga seumur hidupnya. Karena itu tak hanya sekedar Noda.
Waktu telah membentuk jiwanya kian membaja. Menjadi penantang yang nyata! Terutama bagi yang menyakiti dirinya atau Ibunya. Dulu Gendhis lebih banyak diam dan pasrah saat Bapak membentaknya, atau hanya bisa menyaksikan Ibunya jadi bulan-bulanan Bapak melukis Noda. Tapi sekarang, saat Bapak mendesak pemahamannya, Gendhis berani membalas tatapan baja sang Bapak sambil membela diri dengan pemahamannya sendiri. Sementara Ibu masih dengan hanya diamnya.
“Tak akan terulang kembali. Tak akan terulang kembali kisah bersama Noda yang terlukis lagi dan lagi. Tak akan terulang kembali kisah Ibu yang lebih memendam dan menahan perasaannya akibat Noda yang dilukiskan Bapak. Tak akan lagi setelah nanti ….” Ada sebentuk senyum puas di bibirnya sambil mengusap air matanya yang membasahi Noda. Lalu meludah ke bawah, ke wajah Parman yang tak bernyawa dan penuh Noda.(*)
Suyat Aslah, alias Supri.
0 Response to "Lukisan Noda di Tubuh Gendhis"
Post a Comment