KUTEMUKAN KAU DI ATAS PANGKUAN POHON JAMBU
“TENTANG CINTA. Cinta adalah ambigu. Bahkan sejuta kata belum cukup sepenuhnya melukiskan cinta. Cinta itu kata membosankan juga memuakkan. Jika kau mengira aku terlalu skeptis terhadap bahasa cinta, mungkin kau benar.”
“Masih ingatkah kau kata-katamu itu? masih ingatkah bahasa hati yang kutulis waktu itu? masih ingatkah pula tempat yang disediakan Tuhan untuk pertemuan kita berdua?”
“Sebuah tempat bak mimbar hijau berpayungkan kapas-kapas begitu artistik di atas sana. Sebelum bersua denganmu, di sanalah aku membisu sediam batu. Mungkin kau sebaliknya, kau seringkali membawa tubuhmu larut dalam suasana penuh celotehan dari bibir manusia yang terlalu banyak bualan demi membebaskanmu dari sepi yang membekukanmu. Banyak sekali nada langit dan bumi begitu syahdu mendendangkan telingaku. Adalah kedamaian yang jarang kau temui yang lebih damai dari segala kedamaian. Tarian ranting-ranting menjadi suguhan indah juga irama lagu yang keluar dari cabang yang saling beradu begitu indah mengalun di telingaku. Bahkan dalam suasana seperti ini, kau dapat mendengar jelas desahan angin yang merambah mesra telingamu. Sebuah pohon jambu memangku diriku. Menimang-nimang jiwa sepiku. Suasana alam yang mengundang hawa murni dari alam lain, membuatku melayang ringan. Membumbungkanku ke ruang khayal tak berbatas dan bebas.”
“Masih ingat tempat itu bukan?”
“Apakah kau ingin membunuh kemarahanku dengan masa lalu?”
“Hm, mungkin. Masa lalu itu indah seperti bunga mawar yang menjadikannya indah perjalanan hidupmu.”
“Tapi masa lalu juga seperti duri yang menyertai bunga mawar. Dia bisa melukaimu kapan saja.”
“Baiklah, entah untuk ke berapakalinya aku minta maaf padamu. Ya, aku memang salah…, aku …”
“Sudahlah! Sebaiknya kau lanjutkan saja kisahmu itu.”
“Lebih tepatnya kisah kita. Agak aneh memang rasanya, kuceritakan sebuah kisah yang kau pun sudah tahu, bahkan kau ikut dalam kisah ini.”
“Kurasa terkadang tak ada yang lebih indah selain menciptakan sesuatu di angan-angan. Sejak kecil aku suka berfantasi. Ada banyak hal menarik dalam kepalaku. Saking tergila-gilanya, tiada hariku tanpa fantasi. Tapi, karena fantasi juga aku seperti terjebak dalam wilayah pemikiran yang dibentengi ketakutan dan keraguan. Aku selalui menarik diri dari pergaulan. Aku tak suka berpetualang dalam rimba manusia. Aku kerap terbuai dan dihinggapi alasan-alasan untuk tak mau melangkah dengan gagah dan menatap hidup dikenyataan yang terbentang banyak pilihan.”
“Aku juga suka membaitkan isi jiwaku di sana. Mungkin bisa dikata aku adalah laki-laki yang suka duduk menyendiri sambil menghadap sebuah kertas kosong dan memainkan sebatang pensil yang telah kuruncingkan di jemariku, sebelum kutulis kisahku dengan aksara seindah mungkin. Berharap akan menjadi jerat bagi seseorang, hanya seseorang, mau membaca perasaanku. Aku hanya ingin seseorang mengerti perasaanku. Hanya itu.”
“Cahaya matahari menusuk turun dari celah ranting dedaunan, seperti berkemerjapan di atas tanah yang sebagian tertutupi daun kering yang terserak. Bahkan aku menanti-nanti saat daun kering terlepas dari rantingnya, jatuh perlahan, lalu angin menangkapnya, mengayun-ayunkannya, sebelum akhirnya menyentuh tanah. Itu sebuah keindahan di mataku. Mungkin mereka semua menganggapku laki-laki lemah bahkan gila. Namun jika dipahami, banyak juga dari mereka yang tersesat dalam pemikirannya sendiri. Sama sepertiku, hanya berbeda arah.”
“Seindah apakah pergaulan yang mereka bilang banyak kejadian manis yang tak bisa kutemui dalam kesendirianku? bahkan menurut mereka seakan aku belum pernah mencicipi manis wanginya hidup. Mungkin itu sebabnya mereka berkata seperti itu padaku. Memang, jiwaku seperti telah menyatu dengan kesendirianku yang tak pernah lenyap. Aku hanya belum bisa mengungkapkan kata-kata maupun perbuatan yang lebih hebat maknanya untuk sekedar mengabarkan bahwa aku masihlah ada.”
“Berlembar-lembar telah kubaitkan kata-kataku. Kata yang sejak dulu tersembunyi hingga berdesakkan di bawah lidahku. Seperti biasa aku mengoreknya lalu kulepehkan di atas kertas. Kebiasaanku adalah mengikatnya pada cabang rendah yang seakan dijuntaikannya padaku. Angin selalu ingin menghempaskannya, panas matahari membakarnya dan pada akhirnya air hujan melumatnya. Seperti itulah akhir dari kisahku. Masa laluku. Lenyap bersama waktu tanpa ada orang yang tahu. Aku akan tetap menulis hingga aku tak dapat berimajinasi lagi. Hingga jemariku benar-benar payah untuk memegang pensil. Meski kertas terlalu rapuh untuk menyimpan beban pikiran, permasalahan juga perasaan. Tapi terkadang hati lebih rapuh.”
“Untuk pertama kalinya aku menulis tentang… entah apa. Berawal kulihat kau, Perempuan Berparas Sendu. Datang dengan hati pilu. Duduk di atas pangkuan pohon jambu. Setahuku, hanya aku yang selalu menyendiri disana. Diam-diam kuperhatikan wajahmu. Kutajamkan pandanganku, kuperhatikan dengan cermat setiap cm² dari wajahmu. Barangkali bisa kutafsirkan tentangmu. Tak ada keceriaan yang tertempel di wajahmu. Ada sesuatu yang mengendap di matamu. Kelopak bagian atas terkulai lemah. Tatapan matamu seperti kehilangan fokus. Sementara sudut bibirmu sedikit tertarik ke bawah. Aku tak ragu berhipotesis bahwa kau sedang bersedih. Setidaknya itulah micro expression yang pernah kupelajari saat berkunjung ke dunia maya berbayar pulsa.”
“Eits! aku melihatmu tersenyum … jadi masih marahkah padaku?”
“Kau tak lihat aku sedang membaca buku ini.”
“Benarkah kau tersenyum karena buku itu? setahuku, sedari tadi kau hanya membuka halaman itu saja dan kurasa tak ada yang lucu tentang buku itu. Apa kau pura-pura marah padaku?”
“Sudahlah! Lanjutkan saja kisahmu!”
“Baiklah, itu berarti kau mau jadi pendengarku, kan? aku juga bukan orang yang pandai memutar lidah jika kau desak pemahamanku. Kuakui aku selalu lemah jika berdebat denganmu.”
“Entah apa yang membuatku melakukan hal seserius itu. Selalu ingin memandangmu. Tatapanmu seolah menyimpan rahasia besar yang membuatku ingin menatap jauh ke dalam matamu. Meski berparas sendu, wajahmu memancar benderang. Seolah lempengan cahaya tersembunyi di balik parasmu. Sebelumnya tak ada kisah istimewaku bersama seseorang, terlalu banyak nestapa yang kukisahkan.”
“Kulihat matamu berkilat. Kaca cembung seolah terbentuk membungkus manik matamu. Kibaran naik turun kelopak matamu membuat kaca itu leleh, meluncur cepat membelah pipimu yang seakan terpahat sempurna oleh Sang Pencipta. Aku bukanlah orang dengan kepandaian sempurna yang mampu menjamah wilayah luar jangkauan pikir manusia. Aku tak tahu yang terjadi denganmu. Ingin kularikan tanganku pada pipimu yang tergores air mata. Lalu menyapunya pergi dari wajah surgamu. Ah, tapi itu gagasan bodoh, pikirku lagi. Kita belum saling kenal. Mungkin kau akan berpikir buruk padaku.”
“Aku mengawasimu sampai kau pergi. Bau harum wewangian yang kau pakai masih tinggal di sana beberapa detik setelah kepergianmu. Sesungguhnya aku ingin mengagumimu hingga mega semesta menghitam dan kegelapan menutupi keindahanmu.”
“Kurasa kau telah memantrai otakku waktu itu. Imajinasiku terpusat padamu. Malam itu sebelum aku terbius oleh mata lelapku. Aku sempat menulis. Entah tentang apa. Untuk pertama kalinya aku tak mengerti dengan apa yang kutulis. Entah kenapa juga aku yakin bahwa kau akan kembali lagi ke sana esok hari. Tak biasa gerakan menulis tanganku seperti tak diperintah otak.”
Seperti ada rasa terbaru yang merasuk dalam diriku. Ada sebuah tanda tanya besar mendesaki otakku. Mungkinkah aku telah terjangkit virus merah jambu? rasanya ku tak ingin ada malam hari, kuharap esok segera tiba. Perasaan dan pikiranku melayang ke mana-mana, namun kutepis pemikiran itu. Tak mungkin orang terlalu naif sepertiku punya perasaan itu. Sesuatu yang terlalu asing dalam hidupku. Selama ini aku terkurung tabir keluguanku. Mungkin juga hatiku telah berubah menjadi batu hingga tak mungkin ada perasaan itu tercipta di sana.”
“Malam itu kau mendatangi mimpiku. Tersenyum alami padaku, senyum yang manis. Kaugamit tanganku dengan sentuhan halus jemarimu yang terlalu indah dimiliki oleh manusia biasa. Mungkin kau adalah bidadari yang diculik dari surga. Kau membawaku pada tempat dan peristiwa yang belum pernah kujamah dalam nyata maupun fantasiku sebelumnya.”
***
“Bau harum yang sama waktu itu mampir di hidungku. Juga di tempat yang sama. Mungkin kau sempat ada di sana. Aku tak melihat sosokmu maupun bayanganmu. Bau harum khas itu makin tercium. Menguatkan firasatku bahwa kau belum pergi. Benteng hijau mungkin menyembunyikanmu dari pandanganku. Bahkan Dewi Malam bersembunyi di balik awan ketika kegelapan menjadi penguasa malam, namun tak benar-benar lenyap bukan? sama sepertimu. Mataku hanya belum bisa menangkapmu. Mungkin aku telah menjadi pecandu bau harum khasmu itu. Aku ingin selamanya harum itu tetap di hidungku.”
“Aku masih menunggu senja. Aku selalu ingin menatap senja. Hari itu untuk pertama kalinya aku ingin menatap senja berdua. Senja yang berwarna merah, oren, putih, kuning yang seperti tampak teraduk. Juga mega-mega putih yang mulai memburam dan berarak pelan. Aku seperti menghirup kebahagiaan, kebahagiaan yang membuatku jauh dari kesendirian.”
“Sempat terbesit pikiran tabuhku pada-Nya. Mungkinkah Dia telah salah menurunkan rasa ini padaku teruntukmu? tapi kutepis pemikiran bodohku itu. Aku tak bisa menyalahkan Dia. Pastilah ada rencana besar Tuhan mendesain diriku seperti ini. Mungkin semua ini hal yang manusiawi. Mungkin juga ada yang harus diganti tentang cara berpikirku.”
“Aku masih duduk di atas pangkuan pohon jambu. Tak biasanya ada 100 keraguan di setiap gerak-gerikku. Seolah kau benar-benar mengawasiku. Pergi mungkin jadi langkah terbaikku. Tapi terlambat. Kau keburu mendekatiku. Kudengar langkah anggun. Degup jantungku beralun tak pasti. Aku menundukkan kepalaku. Sungguh aku tak tahu yang harus kulakukan. Terlalu lama aku mengasingkan diri dari dunia, membuatku tak tahu bagaimana menyambut seseorang, setidaknya menyapa untuk sekedar basa-basi. Menatapmu pun nyaliku ciut.”
“Sekitar tiga langkah dariku, kupaksa mataku menangkapmu. Untuk pertama kalinya aku menatapmu sedekat itu. Kau pun menatap mataku namun kau segera menunduk. Kulihat pemilik tubuh semampai dengan warna kulit kuning langsat, juga jemari lentik ditambah balutan pakaian yang didominasi warna hijau. Ah, membuatmu tampak sangat elegan. Kurasa mungkin kau benar-benar bidadari yang diculik dari surga.”
“ ’Hmm… boleh aku duduk di situ, di sebelahmu?’ katamu sedikit ragu waktu itu.”
“ ’Boleh, silahkan …,’ jawabku gugup sambil mengambil kertas yang tersampir di sebelahku untuk memberimu ruang duduk.”
“ ’Kenapa kau selalu menyendiri di sini?’ tanyamu, rupanya diam-diam kau sering memperhatikanku.”
“ ’Hmm… entahlah. Sejak kecil aku suka menyendiri, aku merasa tenang saat sendiri. Kau juga, kulihat kau kemarin menyendiri di sini, kenapa?’ jawabku sekaligus mengimbuhi tanya.”
“ ’Sama sepertimu, aku ingin ketenangan. Menyendiri buatku lebih tenang, boleh aku lihat kertas itu?’jawabmu sambil bertanya juga.”
“Kau membacanya dalam hati tulisanku malam itu. Lalu kau tersenyum getir.”
“ ’Tentang cinta. Cinta adalah ambigu. Bahkan sejuta kata belum cukup sepenuhnya melukiskan cinta. Cinta itu kata membosankan juga memuakkan. Jika kau mengira aku terlalu skeptis terhadap bahasa cinta, mungkin kau benar.’ Katamu seakan penuh rintih dalam hatimu. Mungkin kau punya pengalaman pahit tentang cinta. Sementara cerukkan matamu mulai tergenangi air bening.”
“Dan untuk pertama kalinya aku menatap senja berdua. Bersamamu.”
“Masih ingatkah kisah itu? Kisah kita sebelum pernikahan mengikat kita. Kali ini aku sedang merayu dan menatapmu. Aku harapkan sebuah pemaafan darimu. Apakah aku sama seperti setan yang melesatkan panah beracun padamu?”
“Hik hik hik …”
“Apakah kau masih marah padaku?” (*)
Cilacap, 2016.
0 Response to "KUTEMUKAN KAU DI ATAS PANGKUAN POHON JAMBU"
Post a Comment