MBAH WIRO
Seperti terlahir tanpa orangtua. Entah apa yang membuat orangtuaku tega membuang bayi selucu dan seimut aku. Entah di mana ayah dan ibuku. Siapa mereka. Sembilan bulan aku hidup dalam satu raga ibu. Andai aku tahu siapa ibuku. Setidaknya aku tahu sejarahku. Bahwa dulu aku pernah punya orang tua. Ada ibu yang melahirkanku. Bukan lahir dari batu.
Mbah Wiro. Entah apa yang membuatku begitu segan padanya. Bukan bapak dari ibu atau bapakku. Panggilan Mbah lebih layak digunakan oleh anak seumuranku. Dan untuk orang seumuran dia. Mungkin sosoknya yang tenang namun tegas. Mungkin karena kebaikan tulusnya senantiasa merawat dan mengasuhku. Mungkin juga kesudiannya memungutku di tumpukan sampah. Atau mungkin juga karena ketiganya.
Manusia berwajah senja bercorak keriput. Pandangan matanya menjelaskan ketegasan dan pendirian sekeras karang. Aku ingin sekali nanti jika sudah besar jadi seperti dia. Berjiwa yang membaja. Sesungguhnya aku malu padanya. Di usiaku yang belum genap 9 tahun, aku masih jadi orang yang penakut. Suka menjauhi kehidupan. Padahal terciptanya sebuah tetangguhan, bisa jadi ditentukan oleh bisa atau tidaknya kita menghadapi ujian di kehidupan.
Memperhatikannya saat merokok adalah kebiasaanku. Aku selalu menanti-nanti, adakah perubahan ketegasan setidaknya raut wajah darinya saat asyik dengan dirinya sendiri. Dari menyiapkan sejumput tembakau di atas kertas rokok. Juga sedikit menyemai cercahan bunga cengkeh dan menyan yang dikerik lalu ditaburkan pula di atasnya. Melintingnya dengan kedua telapak tangan. Menyelipkan rokok lintingan itu di antara bibirnya yang terkulai lemah namun tak melemahkan gambaran sosok kediktatorannya. Lalu menyulutnya dengan api korek. Matanya ikut berkilat, seakan dalam matanya api ikut menyala. Dihisapnya lintingan yang seakan beraroma surga baginya. Sampai terlalu bernafsu, hingga terbentuk kempotan di pipinya yang sudah lumayan cekung. Menghelanya, membiarkannya berhembus halus dengan kepulan beracun di dadanya. Dengan halus pula dihembuskan keluar dari mulut. Sebagian keluar dari lorong kecil berlendir di atasnya. Hingga seperti terlukis di udara lambang kenikmatan tanpa tara. Sekali lagi dan seperti biasa aku belum menemukan sebuah keraiban jiwa bajanya meski saat asyik sendiri.
Itulah kebiasaan Mbah Wiro beberapa hari yang lalu, dan kebiasaanku pula mengawasinya kadang kala. Kakinya luka dan sedikit memar di kedua sikunya. Setelah terpelanting di jalan yang miring saat memanggul sekarung rongsok. Betis kirinya robek memanjang 9 cm dan sedalam hampir 1 cm terkena lempengan besi tajam yang muncul di permukaan tanah. Aku yang memaksanya agar istirahat di rumah. Sementara aku sendiri yang menggantikannya bekerja. Memang, kita hidup cuma berdua, di rumah kumuh dan sempit. Rumah satu bilik. Dari dalam terlihat atap dan pagar rumah bagai baru digempur ratusan peluru. Berlubang-lubang.
Sekitar dua tahun lalu, Mbah Wiro masih terlihat gagah meski sudah berumur. Aku masih ingat jelas waktu itu. Tubuhnya sedikit gempal dan keras. Kakinya kokoh. Telapak kakinya luas. Muka tangannya kasar. Menandakan seorang yang pekerja keras. Kulitnya hitam legam, mengkilat saat berkuyup keringat terkena paparan sinar matahari. Sekarang tubuhnya kian berevolusi. Tulang rusuknya berundak jelas seperti tak ada daging yang melekat di antara tulang dan kulitnya. Pipinya cekung. Dan cerukan matanya makin membenam. Namun meski begitu tatapan tajam masih dimilikinya.
Sejak dulu kita hidup dari sampah. Meski banyak orang menganggapnya sampah. Tapi bagi kita sampah adalah makanan. “Lihat tumpukan sampah itu, itu adalah makanan untuk kita,” Kata Mbah Wiro dulu.
Kehidupan memang kejam. Hidup terselip di celah kota. Kota berpundi-pundi sampah. Meski sampahnya menggunung. Hanya satu hari sekali kita bisa makan. Aku telah belajar bagaimana mendapat makanan dari sampah. Hanya beberapa jenis sampah yang bisa kita ambil. Selain menghidupi kita, gunung sampah juga bisa mematikan untuk kita. Bisa saja kita terkubur hidup-hidup longsoran sampah yang bisa terjadi tanpa bisa diprediksi. Resiko sampah longsor memang menjadi ketakutan yang cukup menguji. Namun harus dilalui.
Aku suka bermain di Taman Sampah. Tongkat Pengais adalah mainanku. Ada tiga gunung begitu perkasa berjajar tiga di sana. Gunung terkotor dan terbau di planet ini. Mbah Wiro selalu melarangku mendakinya. Aku masih terlalu kecil katanya. Tapi, sejak Mbah Wiro istirahat beberapa hari, tanpa sepengetahuannya aku pernah beberapa kali mendaki. Meski dia sudah mewanti-wantiku untuk tidak melakukannya. Terlihat gagah menurutku. Saat gundukan raksasa itu takluk di bawah kakiku. Juga tumpukan sampah yang menggunung, pastilah lebih banyak pelbagai barang bekas yang didapat, daripada sampah yang hanya terserak. Meski membahayakan diriku, aku juga ingin mengerti bagaimana Mbah Wiro membahayakan dirinya untuk menghidupiku.
Mbah Wiro pernah bilang, “Kehidupan ini penuh dengan kerikil-kerikil pedih yang harus dilalui. Jangan Pernah! Meminta atau mengharapkan belas kasihan pada orang lain. Itu akan melemahkanmu. Kau harus jadi orang kuat dan tahan banting.”
Menurutnya, Hukum rimba telah berlaku di kehidupan ini. Karena kelaparan orang bertindak kejam. Karena kekuasaan manusia bisa saling mengancam. Bahkan emosi manusia bisa lebih buas dari binatang. Demi menutupi cela dalam diri, ada orang yang tega membunuh makhluk bernyawa dalam rahimnya sendiri. Terkadang ada dari mereka yang melakukannya tanpa rasa bersalah. Ada juga yang benar-benar dikuasai oleh emosinya sendiri. Meski juga, ada beberapa yang berada pada suatu keadaan yang mampu membuatnya membuang sifat kemanusiawiannya.
Perlahan aku tahu statusku. Sebagai anak buangan. Tanpa Mbah Wiro menjelaskannya pun. Aku pernah menonjok teman sekolahku tepat di mulutnya. Itu karena dia menghinaku. Tidak sekali, berkali-kali. Dengan istilah Makhluk Sampah. Aku tak begitu mempermasalahkan caranya dia mengatakan. Yang kupermasalahkan adalah julukan yang dia lontarkan dan sudah menjadi kebiasaan. Aku memang bersekolah, kelas 3 sekolah dasar. Mbah Wiro punya cita-cita menjadikanku sarjana. Sarjana entah. Bahkan aku tak tahu definisi sarjana. Dia ingin aku belajar, bukan cuma bergelut dan berkubang di antara sampah. Dia pun tak ingin aku kelak menjadi pengais gunung sampah seumur hidup.
Karena kesalahanku terhadap temanku. Aku mendapat surat panggilan orangtua. Tentu saja aku takut. Pasti Mbah Wiro akan murka. Tapi ada sesuatu yang mengejutkanku. Setelah aku menceritakan padanya kejadian itu. Tak ada reaksi menakutkan. Hanya tatapan yang sulit kutafsirkan. Dan yang lebih mengejutkan lagi, ada rahasia besar menurutku. Tentang dirinya yang diceritakannya padaku.
Sejak kecil Mbah Wiro hidup berdua dengan ibunya. Tak ada kisahnya bersama ayah atau kerabat yang lain. Sekitar umur 7 tahun, ibunya sering meninggalkannya sendirian di rumah saat malam. Alasan kerjaan. Wiro kecil tak tahu apa sebenarnya pekerjaan ibunya. Banyak desas-desus dari tetangga, ibunya menjadi kupu-kupu malam saat malam hari. Keluar malam bermodalkan kemolekkan bersolek. Mengepak-ngepak di udara malam. Sebuah perjalanan pengorbanan diri. Berharap ada laba-laba hidung belang meliriknya. Sebuah pengorbanan diri demi uang yang takkan pernah sebanding dengan harga dirinya yang hilang. Wiro kecil baru percaya saat ibunya membawa laba-laba ke rumah pada malam hari. Saat semuanya tertidur. Bahkan ibunya benar-benar tak peduli pada wiro kecil. Tanpa rasa bersalah mereka melakukan ritual itu. Sebuah perhelatan yang disponsori nafsu berahi. Ada tumpukan kebingungan dalam kepala kecilnya. Haruskah dia membenci sang ibu yang telah melahirkannya? haruskah dia bangga pada ibunya yang telah membesarkannya selama ini, namun dari hasil menjual harga dirinya ?
Hal yang hampir sama denganku dialami oleh Mbah Wiro. Wiro kecilpun pernah merasa seperti barang sampah. Saat bersama ibunya pun tak dianggap anak. Lebih seperti rongsokan yang diinjak-injak lalu dijual dengan harga perak. Benar-benar menjualnya. Itu hal terparah yang pernah dilakukan ibunya terhadap Wiro kecil, setelah sebelumnya suka mengkasari. Wiro kecil pernah menganggap itu sebagai kejahatan seorang ibu, mungkin kejahatan terlalu kasar dan tak layak menyertai kata ‘ibu’. Seorang yang jadi penyembuh saat anaknya luka. Menjadi pelindung saat ancaman mendekat. Tapi aku yakin ada sebab di balik akibat, kenapa mereka tega melakukan itu.
Ibunya menjualnya kesuatu tempat perbudakkan anak. Suatu tempat penuh siksa berujung luka. Luka fisik, luka jiwa, luka segalanya. Tapi keajaiban masih bersuara. Dia lolos dari kungkungan siksa. Tapi penjara besar menantinya. Dunia Bebas. Dunia berhukum rimba. Umurnya Sembilan tahun dan benar-benar hidup sendiri dan tak ada kabar tentang ibunya lagi.
Aku masih merasa lebih beruntung. Setelah aku dibuang, ada yang senantiasa merawat dan mengasuhku. Umurku masih seumuran Wiro kecil saat dia hanya sendiri di kehidupan berhukum rimba ini. Aku takut suatu saat Mbah Wiro pergi. Aku belum siap jika itu terjadi. Aku bukanlah Wiro kecil. Tapi, yang kutakutkan baru saja terjadi. Pagi hari tadi aku mendengar suara jatuh menimpa bumi. Aku segera menghampiri. Ada sebuah luka di bumi basah. Seperti bekas kaki terpleset. Relung pikiranku menggelap, hatiku koyak, jiwaku retak. Aku melihat Mbah Wiro terkapar. Dan lagi-lagi sebuah lempengan besi tajam sialan! Tapi kali ini benar-benar membuatku hancur. Lempengan besi itu, senjata berkarat. Pisau. Menembus dada sebelah kiri. Tempat jantungnya bersembunyi. *
Suyat Aslah, 2016.
0 Response to "MBAH WIRO"
Post a Comment