SEBUAH PESAN LEWAT BEKAS BIBIR PADA GELAS - SUYAT ASLAH

SEBUAH PESAN LEWAT BEKAS BIBIR PADA GELAS



Aneh benar rasanya. Aku dipakukan pada situasi yang sama sekali tak kuingini. Dalam hawa yang kubenci. Harusnya aku sudah pulang, membongkar koleksi buku yang baru kubeli. Tak seharusnya aku berada di tempat sialan itu. Tempat yang dikunjungi oleh jenis manusia suka bercakap dan tertawa lepas, juga para perokok dan bertato, laki-laki maupun perempuan. Ini benar tempat celaka, batinku.

Di hadapanku duduk seorang yang bernama Cung, anggap saja begitu. Saat itu kuhitung sudah tujuh kali dia menghisap rokok dan membuat udara sekitar terasa bertuba. Aku bukan perokok. Berkali-kali diterjang batuk. Di sebelahku duduk seorang perempuan seumuran. Berkulit halus dan bersih. Rambut lurus tersampir begitu saja hingga ke depan bahu kiri, Putri namanya.
   
Kugerayangi seisi ruangan. Entah manusia apa saja yang hidup di tempat semacam itu. Aku tak terbiasa bersuasana seperti itu. Yang kubayangkan adalah tempat bagi kebebasan belaka. Tempat orang membeli kebahagiaan. Untuk mendapatkan sesuatu yang berlebihan. Para pelayan yang kebanyakan perempuan, menggunakan seragam masih terlihat sopan memang. Tapi untuk laki-laki berkepala kotor, tentu akan mereaksi imajinasi. Hampir semua perempuan bersolek terlalu tebal.

Aku tak peduli dengan desain ruangan itu. ruangan yang kulihat tak sampai batinku apalagi menyimpannya dalam pikiran. Pandanganku selalu ingin berakhir pada wajah berbinar di sampingku. Sebaliknya, dia memandangku sekali dua kali, terasa menggelitik separuh wajahku. Ada rasa kikuk saat menyadarinya. Kuturunkan pandangan menyadari, entah aku tak bisa menentang tatapannya. Putri, setidaknya tahu namanya karena aku pernah bertemu dengannya. Nanti akan kuceritai bagaimana aku kenal Putri.

“Lihat ke kanan, Yan.” Cung menyarani dalam bisik. Seorang perempuan dengan rok mini, duduk dengan kaki bersilang sambil merokok. Di punggung telapak tangannya terlukis tato bergambar mawar. Segera kutarik pandang kembali.

“Kau suka tempat ini?” tanyaku heran.

“Tidak, ada yang lebih aku suka,” katanya menggeremang. Putri melirik entah.

Kuserap semua yang ada di sekitar. Kupelajari dan kutafsirkan apa yang terjadi. Biar bagaimanapun, masih janggal rasanya. Sejak aku duduk, sudah ada tiga gelas, padahal cuma ada Cung dan Putri. Masing-masing berhadap dengan gelasnya sendiri. Seseorang mungkin sudah pergi, pikirku.

Supaya lebih mudah dipahami, kuceritai dulu bagaimana aku bisa duduk di antara mereka, begini: saat aku pulang dengan bungah menenteng kresek berisi buku yang lama kuharapi, novel juga buku tentang filsafat, sebelum pintu tralis toko tertutup bersamaan habisnya siang. Berletak beberapa blok dari kafe. Berjalan sambil membayang. Jika sudah sampai di rumah, alangkah enaknya menyeduh kopi hitam atau membuka plastik pembungkus buku, terserah mana lebih dulu. Yang pasti membaca sambil ngopi adalah cara paling nikmat menikmati kesendirian sambil melepas lelah. Mengendurkan otot yang tegang.

Tipis kudengar perempuan memanggil. Aku memanjangkan leher mencari ke sumber suara, dari arah kafe. Kaget kecil memang. Dia yang memanggil adalah Putri. Perempuan yang pernah kutemui saat bazar buku diadakan di Cilacap utara, hanya satu kali. Belum kenal rapat memang, setidaknya masih bisa membaca wajahnya. Pertanyaan yang pertamakali menyambar adalah: sedang apa dia di sini? padahal dulu dia mengaku berumah di Gumilir, cukup jauh berkilo-kilo dari tempat dia berada sekarang. Aku sendiri, rumahku memang dekat sini, untuk membeli buku ini saja aku cuma memerlukan jalan kaki.

“Kau dari mana?” keramahannya sangat mengesani.

“Sana.” Tanganku menuding, “kau sedang apa?”

“Mau kau temani aku?” dia malah bertanya.

Sebelum kujawab dia menarik tanganku. Entah kenapa aku takluk begitu saja. Tak bisa menolak atau beralasan. Tak cukup waktu untuk mencari alasan.

Rambut panjang yang tersampir ke depan bahu kiri menciptakan aura sensual tersendiri. Dari belakang terlihat leher jenjangnya. Tubuh berpostur sedang dengan kulit kuning langsat, serta genggaman tangannya yang seperti kapas basah membuatku terserang demam yang aneh.

Sampai pada meja yang berkursi empat, dua kursi saling berhadap. Salah satunya ada yang menduduki. Dari belakang belum jelas terlihat wajahnya, yang kutahu dia sedang merokok. Ada tiga gelas berdiri langsing di atas meja. Semua sudah habis. Saat sadar kehadiran kita. Kulihat wajahnya yang sedikit membayang. Air mukanya berubah saat melihatku.

“Ada apa?” tanya Putri, Cung kebingungan.

Entah kenapa aku mau saja didudukkan di sebelah Putri, oleh Putri. Jadi kikuk sendiri. Ditambah berhadapan dengan laki-laki yang berubah menatapku aneh, seperti melihat kecoa langka bersayap ungu.

“Dia, Yanto.” Putri mengenalkan.

“Udah tahu.” Cung tersenyum tipis lalu kembali dengan garis bibir mendatar.

“Saling kenal?” Putri memandang aku dan Cung bergantian, “teman sekolah?”

“Abu-abu monyet,” kata Cung diikuti tawa kecilnya. Putri ikut tertawa. Aku senyum terpaksa.

“Tak ada ritual temu kangen?” tanya Putri. Tak ada yang menjawab.

“Mau kau kuajari jadi orang gagah?” tanya Cung sambil tatapannya menjenguk ke arahku. Kali ini lebih antusias namun menusukku. Dia menyodorkan sebungkus rokok dan korek berbahan bakar Butana yang menimpanya. “Kalo nggak ngrokok nggak gagah, Yan,” katanya lagi tertawa mendongak. Sendirian.
   
“Sejak kapan merokok bisa mempengaruhi kadar kegagahan seseorang?” malah Putri yang menjawabinya.
   
“Lho bukankah sudah jadi kebiasaan umum kalo laki-laki kebanyakan perokok?” jawab Cung enteng saja.
   
Kurang ajar si Cung, dia menginjakiku di hadapan Putri. Padahal kalo aku berani, akan kujawab begini: lihat! Di luar sana para banci pun suka merokok. Tapi aku tak berani. Bahkan sejak dulu, sejak Cung suka membuliku di sekolah.
   
Sejak bocah memang aku tak suka bergaul rapat dengan siapapun. Juga tidak dengan perempuan. Berkawan sepi dan dengan suara lembaran buku yang kusibak sudahlah cukup untukku bersuasana senang. Menyesal benar aku berada di antara mereka ini. Tempat ramai membuatku tak cukup percaya diri. Jika bukan karena ajakan Putri yang sedikit memaksa, aku takkan mau. Dalam hatiku aku terus berdo’a, semoga Tuhan membuat sebab apa saja. Supaya aku punya potensi untuk pergi. Seperti itulah.
   
Sambil menghisap dan menyemburkan asap rokok ke udara. Pandangannya menimbang-nimbang kelemahanku.

“Kerja apa kau?”

“Jualan es kelapa muda,” jawabku sedikit berjeda.

“Lumayan,” ujarnya manggut-manggut.

“Setidaknya tidak di bawah tekanan orang lain,” imbuhku.

Aku sedikit sipu. Di zaman seperti ini, anggapan pribadiku, pengangguran punya status lebih rendah dari pemulung. Aku baru saja melepas status itu dua minggu lalu. Di umur yang sedewasa ini. Tak apa, pikirku lagi. Setidaknya aku bisa menjawabi pertanyaan seperti itu. Sebaliknya, si Cung merasa lebih tinggi di hadapan Putri sekarang.
   
Suasana kafe yang penuh orang, dingin ber-Ac. Lagu entah pop entah apa, diputar bikin telinga tak enak saja. Seorang pelayan membawakan pesanan untukku, Putri yang memesankannya, Hot chocolate coffee. Setidaknya cara menikmatinya sederhana, cuma diminum atau diaduk dulu kalau perlu.
   
Kucecap sedikit-sedikit. Kuserap rasa yang ada. Sedikit sensasi aroma kopi sampai ke kepala. Apa saja yang berhubungan dengan kopi, aku suka. Saat itu juga kusadari Putri mengamatiku lekat. Cung berdehem buatan. Putri kembali ke posisi semula.

“Besok kau ada waktu, Put?”

“Sementara ini tak ada rencana.”

“Jika kau segan menjawabi sekarang, besok tak apa. Akan kutunggu sampai aku bosan menunggu.”

Entah apa yang sedang dibicarakan mereka. Dunia apa yang disembunyikan. Keduanya bersikap tak wajar. Sekarang diam sekian jenak.

“Sayang sekali aku ada urusan. Aku duluan.” Cung undur diri, sebelum benar pergi. Dia menuju tempat pembayaran. Kudengar sayup menyebut semua pesanan lalu dibayarnya.

“Kau tak apa?” tanyaku mengharap kepastian. Dia mengangguk. Aku tak percaya.

Baca juga: Lukisan Noda Di Tubuh Gendhis

Pembicaraan mengalir dengan wajar. Dalam bisik dia cerita: pendeknya, pertemuan ini diatur oleh seseorang, Linda namanya. Perempuan yang sebelumnya duduk di kursiku sekarang, katanya. Dia temannya sekaligus mengenal Cung. Tentu atas prakarsa Cung, gagasan Cung yang ingin kenal lebih dekat dengan Putri. Dua-duanya pandai membual, katanya. Perempuan itu yang bisa menggenggam hati Putri, hingga mau datang kemari, lalu dia pergi begitu saja. Putri menyuruhku membayangkan: berdua menghadapi laki-laki yang belum dikenal, berperawakan yang tak sesuai penggambaran Linda. Bahkan sorot matanya menghamburkan kebengisan. Saat melihatku berjalan sambil menenteng kresek. Dia memanggilku, mungkin bisa mengubah suasana, katanya.

Saat ceritanya selesai sampai di situ. Dia mengirimkan pandangan berbinar padaku, di jarak yang sedekat itu. Tentu aku tak kuasa menentang matanya. Kuturunkan pandang lalu kekikukan menguasaiku.

“Kau mau pisang kremes?” aku menggeleng, “susu steril? Semua Linda yang bawa,” jelas Putri sambil menunjukkan satu-satu. Aku menggeleng lagi. Kekikukkan masih belum hilang dari tubuh.

“Kau masih suka membaca?” tanyanya sambil sibuk mengunyah.

“Masih. Kau?” aku mengimbangi.

Dia mengangguk, menelan sebentar lalu berkata, “Lebih banyak waktu untuk menulis,” ujarnya.

Saat kupandangi wajahnya yang bersih. Mata yang bening.  Bibir tipis yang bergerak-gerak lantaran mengunyah. Tetiba aku merasa iba padanya, jika perempuan semanis dia jatuh ke dekapan laki-laki penebar pesona dan sebengis Cung. Sungguh jika terjadi, akan melukai jiwaku. Tapi selembar hatiku buru-buru menepis keterlarutan perasaan itu. Mungkinkah ada yang salah dengan diriku? Aku Cuma sebatang perasaan yang lama dibekukan oleh sepi. Membuatku sulit menghamburkan diri pada interaksi. Meski kuyakini, rasaku sekarang adalah perpaduan antara hasrat dan kegamangan jiwa yang konon bisa menyesatkan semua orang.

“Hey!” Putri mengusap-usap udara di depan wajahku, seakan ada kaca menghalangi. Kesadaran memasuki kepala tiba-tiba.

“Sinting!” kutukku pada diri, dalam hati tentu. Rasa itu sudah menyesatkanku. Putri tertawa melihat air mukaku berubah karena malu, mulutnya penuh pisang kremes, di bibirnya menempel remahan keju. “Tega sekali kau, Put. Menertawaiku yang seorang ini,” batinku.

Tawanya mendadak berhenti karena tersedak. Minuman di gelasnya sudah habis, susu steril dalam ukuran satu genggam diraihnya, namun perlu waktu untuk membuka. Kuberikan padanya sisa Hot chocolate coffee yang sudah dingin. Meski sedakannya mulai reda, ia tetap meminumnya. Memutar gelas lebih dulu, seperti mencari bagian tertentu pada gelas lalu meminumya. Aku tahu betul, bagian gelas itu adalah bekas bibirku. Setelah menurunkan gelas, dia melepas pandang sebentar padaku. Menggigit kecil bibirnya lalu melengos sedikit tercampuri malu. Pikiranku mulai melayang ke mana-mana. Duga sangka sambar menyambar di kepala.

Sekitar dua jenak, percakapan baru kembali berlanjut. Lalu dia meraih kembali susu steril itu, membuka dan meminumnya, kemudian mengangsurkan pisang kremes ke mulutnya. Setelah beberapa suapan, Putri diam tak ada sebab. Atau aku yang tak tahu kenapa. Menyandar lemah pada kursi. Mulutnya berhenti mengunyah. Frekuensi pernapasannya meningkat perlahan, keringat merembesi pori wajahnya. Pandangannya jauh kedepan, entah sampai mana. Kuusap wajahnya dan kutanyai, hanya ada kebisuan belaka.

“Kenapa kau, Put? Jangan buat aku bingung semacam ini,” rintihku dalam hati.

Dia lalu kejang kuat dan hampir jatuh, kutangkap dan kujaga dalam dekapan. Sekucur liur berbusa mengalir pada sudut mulutnya. Semua orang menggerumut. Seorang perempuan dengan rok mini dan bertato mawar di punggung telapak tangan, merelakan mobilnya untuk membawa ke rumah sakit terdekat. Ah, betapa aku sudah berburuk sangka pada dia. Tapi takdir bersuara lain. Malaikat maut lebih dulu melepas jasadnya. Kupeluk dia erat-erat sambil menangis seperti anak kecil.

“Ini pembunuhan, Put. Akan kubuat pembunuh itu menyesal seumur hidup,” bisikku pada telinganya.(*)

Suyat Aslah, penyuka kopi yang rasa pahitnya lebih mendominasi.



   

   
   
   

Supriyatno Bagaikan sebutir benih yang terkubur di bawah tanah di musim sunyi

0 Response to "SEBUAH PESAN LEWAT BEKAS BIBIR PADA GELAS"

Post a Comment

Iklan

Iklan Tengah Artikel 1

ads

Iklan