ANGSA PUTIH BERMATA JORA - SUYAT ASLAH

ANGSA PUTIH BERMATA JORA

seperti angsa


DIA ANGSA PUTIH bermata jora. Bak bersayap yang tergerai mengikuti bentuk tubuh. Hasil pahatan sempurna Sang Pencipta. Sangatlah anggun. Kau tahu? Aku suka memperhatikan tingkah lakunya. Dia berbeda dengan yang lain. Di sayapnya seperti tersarung puluhan pedang. Sebuah lambang keberanian tersemat pada sosok perempuan, justru makin membuatnya tampak jelita.”

“Kau membicarakanku?” tanyanya.

“Apakah aku tadi bilang dia adalah kamu? Dialah perlambang sebuah kebangkitan. Dia terluka namun tak terkalahkan luka. Semua lelaki ingin meraihnya. Kurasa keajaiban menimpa pundakku. Kucium kembali aroma purba darinya. Setelah lama menyingkir dari dunia.”

“Kau penyair dari Dunia Sepi ?” Dia mengarang pertanyaan.

“Menurutmu begitu? Bahkan aku adalah kata tanpa sebuah makna. Jikapun benar aku seorang penyair, lalu apa maknanya seorang penyair tanpa penikmat?”

“Maka akulah yang akan jadi penikmat pertama syair-syairmu.” Seperti tak ragu. “Ohya! Apa kabar Dunia Sepimu?”

“Masih sepi. Sesepi saat kau pernah datang kemari,” jawabku singkat.

“Dunia Sepi dan sempit tanpa lalu-lintas suara manusia. Tempat di mana kesunyian yang meraja. Ruang pelarian para penanggung luka. Kau dapat meneriakan segala lara. Tempat berteduh dari panasnya dunia. Detak waktu seperti tak berlaku di alam sepi. Kadang sangat cepat. Kadang pula sangat lambat. Tidak berasa normal. Alam favorit bagi para penyendiri. Bahkan aku telah terlalu nyaman hidup di Dunia Sepi. Telah mencandu di kehidupanku. Dunia Sepi adalah Duniaku. Keluar dari duniaku, seperti kehilangan jati diri. Akan terlihat asing dan bodoh di hadapan semuanya. Terasa damai juga menyenangkan. Namun perlahan membuatku tersingkir tak berarti. Bahkan hampir membuatku gila. Aku terlalu banyak berinteraksi dalam imajinasi. Bahkan aku tak tahu cara berinteraksi di dunia nyata. Aku terjebak dalam imajinasi.”
    
“Yang kubayangkan tentangmu, hidup dalam dunia sepi adalah pengasingan diri yang membunuh diri. Seperti hidup dalam kurungan tembok melingkar dan tinggi menjulang. Kau tak bisa keluar untuk melihat dunia sekitar. Terjebak dalam duniamu sendiri. Hanya sendiri. Sementara sepi makin menggerigiti tiap detik hidupmu. Tapi kulihat kau begitu menikmati kesendirianmu.”

“Kau terlalu cepat pada kesimpulanmu.”

“Benarkah? Seperti apa gambarannya menurutmu?”

“Terlalu rumit untuk kugambarkan. Yang pasti Dunia Sepi punya cara tersendiri menganiaya batinku.”

“Inginkah kau keluar dari Dunia Sepimu?”

“Itu pun pertanyaan sulit yang memerlukan jawaban rumit. Tak bisa kujawab ya, jika aku sendiri lebih nyaman di duniaku sendiri. Juga tidak bisa kujawab tidak, jika aku sendiri pun ingin melihat kehidupan di luar sana. Sementara kondisiku saat ini masih membatasiku untuk hidup di dua dunia sekaligus.”, “Bagai cerukan luka di hati hingga ke dasar jiwamu. Ingatkah? Kaupun dulu terluka parah. Hatimu teluka koyak. Seorang Pemburu Cinta telah memanahmu dengan panahnya. Menusuk lubuk hatimu. Kau belum menyadarinya jika itu adalah sebuah panah, panah beracun buatan setan. Bahkan kau tak tahu jika kau sudah jadi mangsa Sang Pemburu. Saat kau tersadar, kau merasakan pedih yang begitu menyiksa. Bahkan mencabut panah itu akan terasa lebih pedih daripada saat panah itu menusukmu,” kubuka lembaran masa lalu.

“Tentu  masih  terekam  jelas  di otakku. Aku pun telah meminta Tuhan menghapus ingatan itu dalam memoriku. Namun tak pernah menyata. Bahkan serpihan masa lalu itu juga masih ada di pelupuk mataku. Ohya! Maaf aku baru mau bilang sekarang. Terima kasih. Kau dulu yang menolongku. Saat aku terluka. Kau pun yang menenangkanku dan mengobati lukaku. Luka penghianatan. Meski itu tak mengatupkan luka hatiku. Akan tetap menganga sampai kapanpun. Aku sangat benci penghianat! Penghianat adalah pembunuh yang bersembunyi di balik tembok kemunafikan.”

Matanya berkilat air mata.

“Kau tahu? kau juga telah mengobati lukaku waktu itu. Luka karena sepi. Akhirnya ada orang yang datang ke Dunia Sepiku. Meski tanpa kau sengaja. Sedikit mengurangi kadar kesepianku. Dan aku membiarkanmu pergi sejenak menyingkir dari dunia agar kau mendapat ketenangan. Tanpa ada yang mengganggumu. Itu juga yang kurasakan saat mengasingkan diri di Dunia Sepiku. Meski sebenarnya aku khawatir padamu, kau sedang terluka saat itu.”

“Seperti sayap yang mengepak-ngepak di udara berdebu. Tak tentu arah. Terlihat tak kuasa membawa tubuhmu. Sambil membawa tangisan yang menggema itu. Mungkin kau benar bersembunyi di dalam sepi. Tempat kau bisa melepaskan beban tanpa ragu. Waktu itu kurasakan sebuah perasaan entah. Seperti tak rela jika ada orang lain yang melukaimu. Ada getaran aneh yang merambatiku, bahkan hingga kini. Sementara waktu telah mengikatku, di tempat aku menemukanmu terluka.”

“Sebegitu khawatirnya kau padaku? Apa kau jatuh cinta padaku?” tanyanya seperti pembaca pikiran sambil mengubah posisi duduknya sedikit menghadap ke arahku.

“Kau ge-er rupanya. Tapi aku penasaran, jika itu benar apa reaksimu?” jawabku menutupi kenyataan, sambil melihat ke arah lain untuk menghindari tatapan matanya.

“Oho! Aku akan langsung menolakmu, hik hik hik… Kau tahu? setelah kejadian itu, bahkan pejuang keras cinta takkan mudah menyelinap masuk ke dalam hatiku, apalagi kau, penyair Dunia Sepi, kata-katamu seperti angin segar, tapi bisa saja itu adalah embusan racun yang kau tuang dalam cawan emasmu,” jawabnya sambil bercanda.

“Kalau begitu aku akan menyelusup selembut mungkin, bergerak sehalus mungkin, bahkan setakterlihat mungkin hingga kau tak menyadarinya bahwa aku telah masuk ke hatimu dan menguasainya,” jawabku sengaja kubuat berlebihan.

“Aku suka kata-katamu. Apakah bisa dipertanggungjawabkan dengan bukti? Kau tahu? Setelah lukaku kemarin. Kudapati sebuah pelajaran. Terutama kemungkinan jika aku dilukai lagi. Seekor binatang buruan pun bisa melukai sang pemburu bahkan membunuhnya saat dia terluka. Aku sekarang bukanlah aku sebelum pernah terluka. Aku sekarang adalah perempuan yang pernah terluka dan masih merasakan luka. Bahkan kau sekalipun yang telah mengobati lukaku, lalu tiba-tiba kau melukaiku, maka aku akan melawanmu! Dan kemungkinan besar kau pun akan terluka.”

“Lalu bagaimana jika aku menyayangimu?” tanyaku penasaran.

“Maka aku pun akan menyayangimu. Kita akan terikat hanya dalam satu simpul mati. Cinta. Akan kuletakan dirimu di setiap sudut-sudut dalam rongga hatiku. Akan kurekam kuat sosokmu, lalu kusimpan dalam memoriku. Hingga aku bisa memutar kembali wajahmu dalam imaji di kepalaku kapan pun aku mau. Akan aku isi kekosonganmu, kuharapkan juga sebaliknya. Akan kuanggap kau ada dalam setiap gerak udara di sekelilingku saat kau jauh dariku.”

“Benarkan itu? hm, terikat hanya dalam satu simpul mati? Maksudmu cinta akan memborgol kita?”

“Ya. Kau jadi perampok hati orang.”

“Lalu kau jadi korbannya, kenapa kau ikut diborgol?”

“Itu  cuma bahasa dengan makna palsu, Sayang. Aku malah jadi ragu kalau kau adalah seorang penyair.”

“Sayang? Lalu sebutan terindah untukmu?”

“Kau jadi pengagum rahasiaku rupanya. Tapi maaf sudah ada seseorang yang telah menyebutku dengan sebutan terindah. Seseorang yang diam-diam aku kagumi.”

“Hmm, siapa dia?” tanyaku agak tertahan.

“Hwahaha… aku melihat wajah cemburumu. Bahkan kau belum tahu siapa dia,” jawabnya dengan nada gelagak candanya.

“Aku pemilik wajah cemburu? Ya, kau benar. Bahkan aku cemburu pada angin yang dengan mudah dan bebas mencumbu dirimu,” kataku sedikit bergurau namun benar dari lubuk hatiku.

“Benarkah? Jangan suka bermain dengan kata-kata. Bahkan satu kata bisa membunuhmu suatu waktu.”

Burung-burung penyuka hujan berkonvoi di angkasa. Entah dari mana datangnya. Kurasa takkan ada teori terhebat manusia yang mampu melukiskan perasaan seekor burung yang merentangkan sayapnya di udara, terbang membelah angkasa luas. Membiarkan bulu-bulunya tersapu angin. Bahkan dia pun (Angsa Putih bermata jora, aku menyebutnya) tak tahu perasaanku terhadapnya. Begitu pun aku terhadapnya. Sementara langit tengah asyik melukis dirinya sendiri di sebagian wajahnya. Dengan warna gelap dan makin pekat menjalar lebih luas hingga separuh wajahnya. Langit pun mulai menjarumi bumi dengan gerimis. Hatiku juga terjarumi oleh cemburu. Terlepas benar atau tidaknya kata dia, aku pun tak tahu pasti.

“Mari berteduh!” ajakku sambil menggamit pundaknya.

“Kenapa harus berteduh? Gerimis telah mengajak kita menari. Ayo kita menari!” Dia berdiri dan melangkah, berjingkat di antara derai gerimis. Sesekali kedua tangannya melakukan gerakan tiruan sayap yang mengepak. Kerudung putih yang bak sayap tergerai panjang, dibiarkan basah dan berkibar karena jingkatannya. Dia tampak bahagia. Aku pun tersenyum melihatnya. Senyum yang menyiratkan rasa dari dalam jiwa.(*)

Suyat Aslah, 2016. Seorang introvert yang pernah merasakan bagaimana jiwa yang tersiksa dalam dunianya.
















Supriyatno Bagaikan sebutir benih yang terkubur di bawah tanah di musim sunyi

0 Response to "ANGSA PUTIH BERMATA JORA"

Post a Comment

Iklan

Iklan Tengah Artikel 1

ads

Iklan