PULANG
Petang mulai meremang. Mendung menggulung makin mempercepat gelap datang. Sudah dua jam lebih hujan berderai. Sungai di sebelah barat dan timur tinggal menunggu luapannya. Hawa dingin begitu menusuki kulit. Tubuhnya menggigil kuat. Sampai-sampai segelas kopi yang di pangku cawan yang dia bawa tumpah banyak karena guncangan. Seorang laki-laki berumur separuh abad yang tengah duduk, udud rokok lintingan sambil melamuni sesuatu. Setelah kopi diangsurkan padanya, kasadarannya tergeragap.
Masih dengan gigilnya, Darsiyah berjalan mendekat ke korden, menyibaknya dan menengok melalui kaca, matanya berusaha menembus ke luar. Gelap terlalu cepat turun, batinnya.
“Air mungkin akan naik jika satu jam lagi masih hujan,” ujarnya sambil berbalik, lalu gopoh-gapah menuju kursi di seberang meja di hadapan Dolah, suaminya. Jika abu rokok sudah lumayan panjang, dia getarkan sedikit di atas mulutnya yang terbuka, lalu melumatnya dengan lidah sebelum ditelan. Kebiasaannya seperti itu, suka rasa pahitnya, tapi tak jarang ada seletik bara yang jatuh ke lidah yang membuatnya cepat-cepat menelannya.
“Untung saja ayam-ayam sudah ngandang sendiri, pekarangan jadi becek dan licin di musim hujan seperti ini,” sambung Darsiyah lagi.
Dolah menduselkan gesan ke sebuah asbak, belum berkata sepatahpun. Lalu meraih kopi tumbuk yang diseduh dengan kental, kopi akan terasa nikmat di lidahnya apabila pahit masih mendominasi. Hanya menangkupkan kedua telapak tangannya pada gelas. Hangatnya merembesi telapak tangan.
“Kira-kira bagaimana kabar Yadi ya, Pak?”
“Tak usahlah memikir dia lagi, dia sudah memilih dunianya sendiri, aku menyesal sudah menyekolahkannya tinggi-tinggi,” ujarnya.
“Mungkin dia bakal pulang nanti.”
“Mungkin dia sudah mati, Bu.”
“Husy!”
“Lebih baik punya anak bodoh tapi hormat orang tua, daripada terpelajar tapi melupakan orang tua.”
Semasa kuliah di Jogja, Dolah tak pernah tahu bagaimana kehidupan anaknya hingga ke hal yang remeh-temeh. Sawah terjual untuk sagala kebutuhan dan biaya kuliah. Segala usaha untuk anaknya yang utama. Namun setelah menuntaskan jenjang pendidikan strata-1 dalam bidang Arsitektur, kehidupannya malah kian jelas ngawurnya. Terutama saat menjalin hubungan dengan perempuan yang tak jelas asal-usulnya.
“Besok ada yang mau main ke rumah, bolehkah?” tanya Yadi suatu kali. Setelah itu dia menunjukkan sebuah foto. “Dia tinggal di batas kota,” lanjutnya.
Darsiyah dan Dolah melihat bergantian. Di umur yang sudah lumayan, Tuhan masih memberinya penglihatan yang jernih. Dilihatnya pada foto itu, seorang perempuan dengan rambut dicat merah. Bibir berwarna darah. Kelopak mata hitam, dan tatapan mata bengal yang ada, juga beberapa gelang yang melingkari pergelangan. Ada lagi yang menarik perhatian Dolah, baju yang dia kenakan sangat terbuka dan lekat pada tubuhnya yang bisa saja meruntuhkan iman seseorang.
“Apa kau sudah memikirnya dalam-dalam?” tanya Dolah dengan hati-hati. Anak di hadapannya sudah bukan lagi bocah, seorang lelaki dewasa yang bertenaga, bahkan pikirannya pun punya daya. “Dia akan jadi kawan hidupmu, seumur hidupmu,” sambung Dolah.
“Pilihanku sudah berakhir padanya.”
“Kau terpelajar, sudah kau timbang seberapa baiknya dia untukmu? Untuk aku dan ibumu?”
“Dia yang terbaik.”
“Kau berasal dari desa. Tak tertarik dengan gadis desa?”
“dia juga perempuan desa, Pak.”
“Kau tahu yang kumaksud. Jiwa dan tubuhnya bukan lagi desa, Di”
“Desa! Kota! Ini tentang hidupku, Pak.” Yadi mulai bersungut.
“Selama ini aku dan ibumu yang berjuang untuk hidupmu,” ujar Dolah sedikit naik pitam, “Seorang istri yang baik tak hanya dia yang mau hidup di sampingmu, tapi lihatlah bagaimana cara dia hidup.”
Pertengkaran itu berpangkal pada minggatnya Yadi dari rumah. Tanpa kabar hingga bertahun lamanya. Darsiyah dan Dolah merasa terbuang oleh anaknya sendiri.
Pembicaraan tentang Yadi terhenti lumayan lama. Hanya terdengar berisik bunyi air hujan menghantam atap seng yang bocor sana-sini, ember dan baskom sudah ditebar di mana-mana. Mendadak terdengar suara pintu yang diketuk tangan ragu. Darsiyah gopoh-gapah mendekati pintu. Dibukanya pula dengan tangan ragu. Dalam gelap yang meremang, tak jelas matanya menangkap sosok itu. Pintu dibuka lebih lebar, baru terlihat lantaran sorot lampu dari dalam. Terlihat seorang perempuan masih muda, menggendong anak kecil berumur sekitar satu tahunan. Sebocah lagi berdiri di sebelahnya memegangi baju perempuan itu. Sebuah tas tak terlalu besar berisi entah, tersangkut pada bahunya. Sebuah payung sobek di sebagian dengan jeruji-jeruji yang mencuat bertengger di belakangnya.
Darsiyah menggeragapi. Siapa orang ini? Darsiyah mengajaknya masuk ke dalam. Semakin jelas sosok perempuan itu. Bajunya kuyup, anak di gendongannya batuk-batuk. Tanpa rasa takut, tiba-tiba bayi itu menjulurkan tangannya pada Darsiyah. Tentu Darsiyah menyambutnya. Lama tak merasa kehadiran sosok anak dalam hidupnya, setelah kepergian Yadi. Bahkan cucu yang telah lama diimpikannya tak pernah menyata.
Darsiyah memandangi bayi itu, sambil menyeka wajah dan rambutnya yang basah dengan setangan. Bayi itu menguap-uap. Bajunya dia ganti dengan baju Yadi waktu kecil. Darsiyah masih menyimpannya baik-baik. Setelah itu dicarinya baju untuk bocah yang satunya lagi. Kemudian ditidurkannya dia pada dipan, menghangatkannya dengan selimut. Bocah yang satunya ngikut saja. Tak lama tertidurlah mereka.
Sekitar satu jam, berkarung amunisi pertanyaan Darsiyah dan Dolah luncurkan dalam kebimbangan dan rasa kasihan. Tapi tak habis perempuan itu menanggapinya. Dia mengaku bernama Dewi. Terlihat dari wajah dan pembicaraannya sudah terlalu banyak menapaki jalan luka. Suaminya selingkuh dengan perempuan lebih muda. Dia juga diusir dari rumah dengan status menggantung tanpa proses perceraian.
“Pulang saja ke orangtuamu,” ujar Dolah.
“Sudah tak berani. Aku sudah berbuat kesalahan yang membuatku terusir dari rumah.”
Dolah tak berani menanyakan kesalahan apa. Tapi malah perempuan itu yang membuka, “Aku sudah lepas dengan keapatisanku pada orangtua. Terlalu memaksa atas pilihanku yang salah memilih lelaki,” jelasnya dengan suara tercekat di tenggorokan, lalu melepas pandang ke arah anaknya yang tertidur.
“Semua kerabat membenci. Tak ada yang ingin kudatangi,” lanjutnya. Dewi juga menceritakan telah mengetuk banyak rumah hanya untuk menawarkan anaknya untuk dirawat, namun tak ada yang menerimanya.
“Gemblung!” Dolah membatin.
Dewi diam sejenak, menarik napas lumayan panjang lalu menghembuskan semua, “Apa bapak sama ibu punya anak?”
Mereka berdua saling pandang sebelum menjawab bergantian, “Punya,” jawab Darsiyah.
“Ceritanya sama persis sepertimu,” Dolah menyambung.
“Apa yang sama?” tanya perempuan itu ragu.
“Dia minggat empat tahun lalu. Gila perempuan!”
“Husy!” Darsiyah mendesis.
Semua terdiam lama. Ada sesuatu dalam benak Dewi yang telah dibatalkan terucap setelah pembicaraan terakhir. Melihat langit yang belum ada isyarat akan berhentinya hujan, Darsiyah mengajaknya untuk menginap di rumahnya satu malam. Anak kecil itu terlihat begitu mengibakan dengan pakaian bekas Yadi waktu kecil. Darsiyah melihat seperti benar-benar Yadi.Keesokan harinya bayi perempuan itu diterjang demam. Sementara kakaknya, Maman, menggelendot pada Dolah. Belum ada satu hari sudah lumayan akrab, bercanda cekikikan sampai terbahak. Darsiyah senyum sendiri melihatnya. Dewi meminta izin membeli obat untuk anaknya di apotek. Tapi sampai matahari menggelinding di ufuk barat belum juga kembali lagi. Bahkan sampai berganti hari pun belum juga kembali. Bukan warga asli, membuatnya tak banyak informasi tentang Dewi. Semua tetangga tak ada keberatan jika Darsiyah merawat anak yang ditinggalnya, termasuk Dolah.
Hampir satu bulan kemudian, mereka jadi keluarga yang lumayan bahagia. Di kehidupan yang amat sederhana. Sang bocah tak lagi melulu mempertanyakan ibunya. Di suatu pagi saat matahari mulai mekar di timur. Seperti biasa, kesibukan seorang petani di musim tanam, Dolah sudah dinas ke sawah. Melihat kondisi tanduran yang beberapa hari sebelumnya diterjang banjir. Namun sudah ditanjangi lagi dengan tanaman baru setelah banjir menyusut. Hanya tersisa satu petak sawah yang dimiliki. Itu pun hampir terjual untuk kebutuhan yang serba mendesak. Sementara Darsiyah sibuk di dapur. Membuat kudapan yang selalu ala kadarnya. Nasi dan sayur genjer sudahlah cukup. Sementara dua bocah masih di atas dipan, Maman sebagai penggembira untuk adiknya
Pintu diketuk dua kali, tak terlalu berjarak antara pintu hingga dapur, Darsiyah pun medengar namun masih sibuk sendiri, “Buka pintunya, Man,” ujar Darsiyah. Maman melompat dari dipan. Membukakan pintu. Hanya membukanya lalu diam. Diam sambil menerkai sosok di hadapannya yang sama diam.
“Bapak!” kata Maman kerasan.
Darsiyah tergeragap mendengarnya, lalu menghampiri Maman. Namun tamu itu sudah pergi. Tanpa meninggalkan kata.
“Siapa, Man?” tanya Darsiyah.
“Bapak,” katanya sambil tangannya menuding. Sementara Darsiyah hanya bisa melihat punggung laki-laki yang pergi itu. Yadi namanya.(*)
Suyat Aslah, waktu ngedit cerpen ini sambil minum susu kental manis.
0 Response to "PULANG"
Post a Comment