AKHIR HIDUP SEORANG PEMBUNUH - SUYAT ASLAH

AKHIR HIDUP SEORANG PEMBUNUH

 

Pembunuhan

Tiga hari, setelah berita kadung menyebar ke seluruh pelosok desa Karang abang, bahkan hingga ke desa seberang. Terembuskan pula rencana pembalasan yang diam-diam mengobarkan hati manusia untuk membunuh. Membalas pembunuhan dengan pembunuhan. Sediam-diamnya, ditiupkan seluas-luasnya hingga laju angin menghantarkan pada telinga Lalung. Seseorang yang tak butuh dan berpikir teoritis. Tak peduli pandangan orang yang penuh perspektif. Lebih kepada serampangan dalam bersikap.
    
Pergolakan sempat terjadi. Terutama antar pemuda desa. Satu desa yang sudah bertikai sejak bertahun lampau. Dua kubu yang dipisahkan sungai Kambang yang menyayat desa jadi dua, barat dan timur. Akar dendam terlanjur merajai hati pemuda. Bahkan mungkin hingga keturunan berikutnya.
    
Malam hari, sesaat setelah terjadi pembunuhan, teriakan masa yang saling bertentangan tumpah di jalanan. Saling tuduh. Tangannya memegang senjata teracungkan. Suasana begitu mencekam. Semua berteriak kasar. Membangunkan yang lelap tidur. Para ibu dan anak tak ada yang berani ke luar. Semua masuk rumah dan mengunci pintu kamar.

“Pantaslah dia mati. Kepala desa keparat!” teriak salah satu pemuda kubu timur dengan golok diacungkan ke udara.

“Jaga mulutmu. Kupecahkan kepalamu!” sahut di kubu barat.

“Dialah biang!” suara kembali melantang pada kubu timur.

Beruntung dua kompi aparat segera memediasi pertempuran setelah laporan salah satu warga. Mediasi yang berat hingga pagi menjelang. Dengan kesepakatan, semua diserahkan penuh pada hukum. Setelah semua pulang. Dua kompi masih berjaga di titik perbatasan dua kubu. Terutama di jembatan yang menghubungkan dua kubu. Hari kedua, suasana mulai kondusif, satu kompi ditarik pulang. Setelah hari ketiga, masyarakat beraktivitas seperti biasa. Situasi telah kembali normal, giliran kompi terakhir ditarik pulang.

***


Siang hari sebelum pembunuhan terjadi. Istri seorang penjual ayam, Sarno, bercerita pada suaminya tentang perlakuan kurang senonoh Kepala desa yang menimpanya. Mendadak muka Sarno merah padam dan menaruh dendam. Sarno tahu betul, Kepala desa punya reputasi itu, setidaknya dia pernah mendengarnya waktu ngopi di warung tak jauh dari rumah. Banyak yang tidak percaya dia bisa menduduki posisi sebagai Kepala desa. Mungkin lebih tepatnya uang adalah raja. Uang bisa saja menggerakkan masa yang besar. Inilah hasilnya, negeri ini penuh dengan penjahat berdasi, mungkin karena banyak orang rela menjual suaranya seharga terasi.

Nafsu angkara seakan sudah menguasai, Sarno mengasah golok setajam mungkin. Sang istri lebih banyak menangis di dalam kamar. Tak begitu tahu apa yang dilakukan Sarno. Setelah dirasa tajam, dicobanya golok itu pada kertas, lalu mencobanya pada daging ayam, menghantamkannya, seketika terbelah jadi dua.

“Malaikat maut akan segera menjemputmu, Pak Kepala desa!” batinnya, rahangnya saling menekan kuat.

Saat malam tiba, dengan langkah mantap, melewati jembatan dengan sarung diselempangkan pada bahu, yang juga tempat untuk menyembunyikan golok yang terasah tajam. Tak peduli berpapasan dengan siapa di jalan, bahkan melewati tukang ronda yang terlalu banyak dapat jatah kopi, hingga lebih suka duduk-duduk sambil main gaple. Sarno tak bersuara sedikitpun untuk sekedar menyapa. Setelah sampai di satu rumah yang terparkir dalam garasi mobil buatan Jepang, dijaga pagar lumayan tinggi, Sarno melompatinya. Pintu yang terkunci dia dobrak dua kali cuatan kaki. Masuk dengan beringas. Saat itulah mendapati Pak Kepala desa yang terkejut bukan buatan. Belum siap menghadapi situasi yang mendadak. Namun sadar akan sebuah ancaman, tangannya berusaha meraih ke bawah sebuah bantalan sofa. Sarno sempat melihatnya, sebuah senjata api. Namun dengan sebat Sarno memainkan golok yang tergenggam kuat di tangan. Hingga sofa dan lantai bersimbah darah. Pak Kepala desa Karang abang tewas dengan luka bacok di sembarang tempat. Di saat itulah Sarno menyadari sebuah tatapan yang menusuk punggungnya. Seorang anak penyandang disabilitas, anak Kepala desa. Dan tak ada yang lain di rumah itu. Kabar terakhir istrinya minggat entah ke mana. Suara keributan mendadak hening. Tergantikan perasaan kalut yang dalam.

Tak ada yang lebih tahu keberadaan Sarno selain Lalung. Bukan asli warga desa Karang abang. Lalung adalah pendatang, juga teman seperantauan Sarno waktu bekerja ke Malaysia di tempat peternakan ayam. Sekitar lima tahun lebih tua dari Sarno, namun belum menikah. Satu-satunya orang yang bisa bebas ke barat dan ke timur tanpa mengundang curiga. Penampilannya yang tak mau ribet, bahkan cuma bercelana kolor dan hampir tak pernah pakai baju. Namun pergaulannya luas dari barat maupun timur.

Tiga hari mendekam di rumah Lalung membuatnya benar tertekan amat dalam. Suara langkah kaki dari luar membuat keringat merembesi keningnya. Juga yang paling miris, rumah Lalung berada di blok barat! Sarang bagi mereka yang bisa saja membunuhnya setiap saat. Sebuah ide pengalihan yang gila dari Lalung.

“Sssssts! Jauhi jendela. Tetap di sini jika kau tak ingin mati lebih cepat,” ujar Lalung dengan suara rendah.

“Supaya tak mencurigakan, aku akan bergabung dengan mereka. Jangan dengarkan apa yang aku katakan. Semuanya hanya pengalihan supaya kau aman,” ujarnya lagi. Lalu bergabung dengan rombongan pemuda yang membicarakan dirinya.

Dalam hati Sarno sedikit sangsi. Lalung berani berbuat tanpa memikirkan bahaya baginya jika tidak ada “sesuatunya”, hampir mustahil, pikir Sarno, memberinya makan dan jaminan keamanan, semudah itu?. Sarno kenal betul siapa Lalung, Apalagi Lalung tidak pernah membicarakan pelariannya ke tempat lain, entah sampai kapan. Dia selalu memberinya wejangan untuk tetap di dalam rumah. Namun Sarno pun tak sebodoh kepala kerbau. Dalam saku celananya tersembunyi sebuah senjata api milik Kepala desa yang dia curi. Untuk menamengi diri dari kemungkinan tak terduga.

“Belum ketemu?” tanya Lalung setelah bergabung.

“Mungkin sudah ngacir jauh,” ujar yang lain.

“Atau belum kemana-mana. Polisi masih bekerja bukan?” Lalung menimpali lagi.

“Kita lihat siapa yang bakal menemukan lebih dulu, polisi atau kita?” ucap yang satunya lagi dengan geram.

Setelah itu rombongan berpindah, Sarno tak lagi mendengar pembicaraan mereka. Dia benar dalam ketakutan yang dalam. Ingin dia kabur tanpa sepengetahuan Lalung, meski memegang senjata, namun seperti tak ada ruang untuknya bersembunyi dari tatap orang-orang yang mengenalinya. membunuh satu orang saja sudah menghadirkan ketakutan maha ngungun. Luntur sudah niatnya itu. Giliran pikirannya melayang pada wajah bocah disabilitas yang jadi saksi kunci. Ada perasaan tak karuan jika mengingat empat tahun pernikahannya belum dikaruniai anak.

Saat petang menjelang, Lalung pulang. Sarno sudah kenal langkahnya. Tak takut dengan langkahnya yang tak bergegas karena penyakit encok yang beberapa hari ini menghinggapi. Setelah masuk, Sarno makin sangsi, tatapan Lalung berubah. Seperti menyimpan sesuatu yang tak ingin diketahuinya. Terasa menusuk, namun segera menunduk.

“Bagaiamana keadaan di luar?” tanya Sarno menyelidik. Bersiap mengamati segala gestur, ucapan dan tatapan mata Lalung.

“Sementara aman,” ujarnya pendek, namun perlu tenggat untuk menjawab sependek itu. Sarno makin curiga.

“Apa cukup aman bagi istriku?” tanya Sarno, baru kali ini Sarno menanyakan sang istri.

“Akan kulihatnya nanti. Ehm, tapi aku butuh sesuatu untuk meyakinkan istrimu bahwa kau baik-baik saja,” ujarnya lagi.

Sarno menarik paksa seuntai kalung di lehernya, lalu memberikannya pada Lalung.

“Ini adalah kalung pemberian istriku, sebelum kami memutuskan untuk menikah.”

Lalung memandangi sejenak, menggenggamnya, lalu mengangguk.

Saat malam menuju puncaknya. Lalung hendak menemui istri Sarno di blok timur. Seperti biasa hanya memakai celana kolor panjang berwarna hitam. Sebelumnya dan seperti biasanya, Lalung mewanti-wanti Sarno supaya tetap di tempat. Sarno mengiyakan, meski masih ada sejumput kejanggalan di benaknya.

Sepuluh menit berlalu. Perkiraan Sarno, Lalung sudah sampai di rumah. Saat itu, Sarno membayangkan kebiasaan istrinya yang lebih suka menangis di dalam kamar saat kena masalah.

Ada yang tak diketahui oleh Sarno. Sejak kompi terakhir aparat ditarik pulang. Sebuah sayembara telah diembuskan dengan rahasia: barang siapa yang bisa menemukan serta memberitahukan keberadaan Sarno, pembunuh Kepala desa, akan diganjar imbalan yang besar. Salah satu orang yang mendengar sayembara itu adalah, Lalung!

Malam ini juga, saat Lalung datang menemui istri Sarno, akan ada belasan pemuda dengan parang di tangannya. Mendatangi Sarno yang masih bersembunyi di rumah Lalung. Para pemuda yang teracuni dendam. Dan semua orang tak tahu, apa yang dilakukan Lalung kepada istri Sarno, saat malam mengembuskan angin yang tenang, di blok timur desa Karang abang.(*)

Suyat Aslah, penulis kelahiran Cilacap 1995. Dua bukunya yang telah terbit berjudul ‘Puspa’ dan ‘Sehelai Jiwa Sepi’.


 

Supriyatno Bagaikan sebutir benih yang terkubur di bawah tanah di musim sunyi

0 Response to "AKHIR HIDUP SEORANG PEMBUNUH"

Post a Comment

Iklan

Iklan Tengah Artikel 1

ads

Iklan