TANGAN-TANGAN
AKU MELIHATNYA. Dia melepaskan diri dari kawanannya. Duduk sendiri sambil membolak-balikkan lembaran buku yang dia baca. Kulihat dia sangat fokus. Menjelajah dalam rimba kata yang tak banyak orang yang menyukai itu. Dia pun tampak tenang. Berbeda dengan kawanannya yang bergerumbul lumayan berjarak di sampingnya. Mereka larut dalam gelak tawa. Dengan lepasnya mereka memuntahkan kata-kata. Ada yang memain-mainkan lidahnya, mengolah kata menjadi bahan candaan, kemudian dia lontarkan, lalu semua riuh dalam tawa. Tapi perempuan pembaca buku itu tetap tenang dengan kesibukannya sendiri.
Aku tertarik memperhatikan dia. Dia berbeda dari yang lain. Dingin juga misterius. Membuatku tambah penasaran. Banyak juga yang bilang aku seperti itu. Entah seperti itukah aku terlihat oleh orang lain? Tapi ada sesuatu yang mengejutkanku. Saat dia asyik sendiri, dan saat itu pula banyak yang memusatkan perhatian padanya, dia sendiri pun tahu itu. Tapi bukan itu yang kumaksud. Saat itu juga ada sosok yang menempel erat di kepalanya. Sosok dengan empat tangan, tiap tangan dilengkapi kuku-kuku kokoh dan tajam. Saat itu kedua tangan sosok itu menembus kepalanya dengan kukunya. Kemungkinan mengenai otaknya. Sementara satu tangannya lagi meremas-remas hatinya dengan jemari berkuku tajam itu. Dan satu tangan yang lain masih diam.
Kubaca dari wajahnya. Perasaannya tak karuan. Sudah tidak fokus lagi dengan bukunya. Tingkahnya pun aneh, dia seperti tak suka diperhatikan. Dia terlihat salah tingkah. Setelah itu ada satu teman yang mendekat dan duduk di sampingnya. Dia bisa sedikit mengimbangi pembicaraan temannya itu. Meski tak banyak kata yang diucapkan. Kurasa dia pendengar yang baik. Dan saat ada pada suatu titik pembicaraan yang membuat temannya tertawa dengan kata-katanya sendiri. Tapi dia hanya tersenyum. Seperti itu pun aku jika ada pada posisinya. Sepertinya ada banyak kesamaan antara aku dan dia. Tapi yang membuatku masih penasaran adalah sosok itu. Sosok dengan empat tangan berkuku tajam.
Setelah itu ada beberapa teman lagi yang bergabung dengan mereka berdua. Sepertinya ada banyak temannya yang peduli. Mungkin juga ada yang merendahkan dan mencampakkannya. Itu yang kualami. Dan saat itu kulihat bukan cuma tiga tangan sosok yang bekerja. Satu tangannya lagi membobol rahang bawah dan tembus ke atas, kukunya mengait lidahnya. Anehnya lagi semua temannya seperti tak menyadari sosok itu.
Kulihat ada cairan yang meluber di atas kepalanya. Berwarna hijau pekat dan sedikit berasap. Aku menduga, kuku tajam itu mengeluarkan bisa. Begitu juga yang meremas hatinya dan mengait lidahnya. Tak ada kata yang disuarakan lidahnya. Dan ada banyak keraguan dalam geraknya. Sepertinya dia telah dikuasai sosok itu. Dan bisa itu telah mempengaruhinya.
Hari itu adalah hari paling aneh. Aku disajikan peristiwa yang tidak bisa dicerna otakku. Peristiwa yang menciptakan deretan pertanyaan yang terangkum dalam buku sejuta tanya dalam kepalaku. Tapi entah kenapa aku seperti pernah merasakan jadi seperti itu. Seperti ada yang membatasiku melakukan sesuatu bahkan berkata sesuatu. Tapi terkadang melihat diri sendiri akan terasa lebih sulit daripada melihat orang lain.
Dia, perempuan pembaca buku aku menyebutnya. Perempuan paling berbeda. Sebeda diriku saat bersama teman-temanku. Misterius. Terlalu sulit dipahami, dan mungkin terlalu mudah dilupakan. Semudah diriku saat terlupakan semua orang.
Kau tahu? saat aku mengasingkan diri darimu, bukan maksudku menciptakan jarak untukmu. Bukan juga aku tak mau bersahabat denganmu. Aku hanya belum bisa sama seperti kalian. Aku berbeda dengan kalian. Bahkan aku sangat tersiksa. Tak banyak yang tahu itu. Aku memang seorang yang butuh lebih banyak kesendirian. Tapi bukan Anti-Sosial. Kurasa perasaanku telah bekerja sama dengan dunia luar untuk menghentikan langkahku. Aku sering kali berada dalam ketakutan dan keraguan yang tercipta dengan sendirinya. Itu mempengaruhi caraku bertindak, bahkan mungkin terlihat aneh menurutmu. Ada juga yang menuduhku dengan bahasa tersirat bahwa tak ada senoktah pun ruangan di hatiku tempat cinta bersembunyi. Mungkin itu juga yang terjadi pada perempuan pembaca buku. Tapi aku belum merasakan kehadiran sosok itu dalam diriku.
***
Suatu hari aku melihatnya lagi, perempuan pembaca buku. Saat itu hujan telah membuatnya berteduh di sebuah Masjid. Sementara aku pun bernasib sama. Tujuh petak keramik masjid menjaraki kita. Itu cukup membuat detak jantungku beralun kacau. Apalagi saat dia mengubah posisi duduknya menghadap ke arahku. Jantungku terasa merosot ke bawah. Aku merasa ada yang mengobrak-abrik otakku.
“Apa yang ada di kepalamu?” tanyanya tiba-tiba, aku terkesiap.
“Aku tak memakai apa-apa di kepalaku,” jawabku bingung.
“Kau tak merasa?” tanyanya lagi, aku bergeleng tak mengerti.
“Aku melihat ada yang merekat teramat rekat di kepalamu. Sosok yang memiliki empat tangan. Kuku-kuku runcing di tangannya mencengkeram kepalamu. Menembus tulang tengkorakmu. Mungkin kukunya telah mengoyak otakmu. Dari atas kepalamu meluber cairan hijau pekat sedikit berasap. Sementara kuku runcing di tangan yang lain menembus sebelah kanan rongga perutmu. Lebih tepatnya di bawah diafragma. Tempat hatimu bersembunyi. Meremas-remas hatimu. Juga meneteskan cairan hijau pekat sedikit berasap. Sementara kuku runcing di tangan yang satu lagi menusuk-nusuk rahang bawah mulutmu,” Kata dia menjelaskan.
“Ohya? akupun melihat sosok itu ada padamu kemarin.”
“Aku percaya itu. Dan itu sangat terasa menyiksa. Asal kau tahu, ada banyak orang yang dihinggapi sosok itu. Mereka tinggal tersembunyi. Punya dunianya sendiri, dan tak suka keramaian. Lebih suka tempat yang tenang dan bersinergi dengan sunyi. Banyak yang menyebelahmatakan mereka, meremehkan mereka, merendahkan mereka bahkan mencampakkan mereka. Mereka seperti dikendalikan oleh sosok itu. Anehnya ke empat tangan itu bekerja hanya saat mereka keluar dari kedudukan nyamannya. Seperti tempat keramaian, tempat teman-temannya berkumpul, masyarakat sekitar tempat tinggal bahkan saat berpapasan dengan orang lain di jalan. Dan seringkali ke empat tangan sosok itu bekerja bersamaan. Mengambil alih pengendalian otaknya, mengunci lidahnya, mengobrak-abrik isi hatinya dan terus menguasai mereka.”
“Apakah mereka tak banyak komunikasi secara verbal? lebih suka bergulat dalam imajinasi dan perasaan. Apakah juga dunia pikiran adalah sesuatu yang menarik untuk diselami baginya?”
“Mereka Sang Pemikir. Banyak dari mereka yang mempengaruhi dunia. Ada yang jadi ilmuwan hebat, penulis, seniman, mereka adalah penguasa, banyak orang-orang cerdas dari kaum kita. Meski banyak orang yang menganggap kita lemah, rendah, bodoh, bahkan gila. Tapi mereka hanya menangkap kita melalui matanya. Dan mata bisa jadi penerjemah yang seringkali salah.”
“Kurasa aku setuju denganmu. Ada orang yang bilang manusia bisa bicara melalui tatapan mata, tapi bisakah mata menerjemahkan sepenuhnya apa yang dibicarakan mata dan dilihat oleh matanya? bukan cuma itu, bisakah mata menerjemahkan bahasa hati seseorang? kurasa mereka terlalu cepat menafsirkan kita.”
Hujan yang membaur dengan angin, menaburkan serbuk-serbuk air langit di tempat kita duduk. Memaksa kita mencari tempat yang lebih teduh. Kita sama-sama duduk memunggungi dinding hanya lima petak keramik masjid yang menjaraki. Kulihat banyak pasang mata yang memperhatikan kita dari jauh, malah mendekat pada kita. Tiba-tiba udara di sekitar kita membeku. Kita sama-sama diam tak bicara. Kulihat tangan-tangan sosok itu mengambil alih otaknya, mengunci lidahnya dan meremas-remas hatinya. Kuku-kuku di tangan itu mengalirkan cairan hijau pekat sedikit berasap. Dia telah dikuasai sosok itu.
Aku pun merasakan kehadiran sosok itu menimpa kepalaku. Merekat teramat rekat. Kuku-kuku runcing di dua tangannya mencengkeram kepalaku. Menembus tulang tengkorakku. Mengoyak otakku dan menguasainya. Sementara kuku runcing di tangan yang lain. Menembus sebelah kanan rongga perutku. Meremas-remas hatiku. Sementara kuku runcing di tangan yang satu lagi, manusuk rahang bawah tembus ke atas mengait lidahku. Seakan tak mengijinkan aku bicara.*
Suyat Aslah, 2016
0 Response to "TANGAN-TANGAN"
Post a Comment