SUPRI DAN SEBUAH ELEGI - SUYAT ASLAH

SUPRI DAN SEBUAH ELEGI

Elegi


Setelah berjalan sejauh ini. Benaknya tak pernah bisa menimbang jarak. Hanya bayangan yang tereka kadang secara acak. Hingga perasaannya sering beralih tiba-tiba. Semenjak penglihatannya menggelap dan tak lagi melihat apa-apa. Sosok kuat yang memapahnya waktu kecil, menjadikan pukulan tambahan, tubuhnya dilibas jemari maut yang menurutnya amat bengis. Di sebuah jalur rantai yang mengalungi tanah. entah sejak kapan tanah di desanya berkalung rantai, Supri tak tahu pasti bagaimana kejadiannya. Namun itu tetaplah nyata.

Tak ada yang banyak dikerjakan. Dia benar-benar hidup di jalan sepi. Tanpa teman tanpa candaan. Dunia menjadikannya rapuh dan payah. Hatinya tak terlatih menghadapi banyak pilihan. Untuk memilihnya saja tak ada keberanian.

Kadang dia ingin melihat refleksi dirinya pada cermin. Hingga dia tahu bagaimana waktu mengambil peran mengevolusi wajahnya. Menurut ibunya, Supri sangatlah tampan. Wajah bening juga hidung tak terlalu mancung.

“Bagaimana dengan mataku, Bu?” tanya Supri kali waktu.

“Itu juga indah,” jawabnya. Namun butuh waktu mengucapkan kalimat itu. Bahkan Supri menangkap nada dengan emosi khusus dalam suaranya, seperti terdengar tercekat di tenggorokan.

Supri lebih suka menikmati hawa murni alam di sekitar tubuhnya, hanya di sekitar. Sentuhan cahaya matahari menimpa kulit. Suara-suara yang kadang membuatnya menebak-nebak. Dia ingat betul, saat berdiri dengan wajah menghadap langit, saat embusan angin yang meniupkan hawa mendekati dingin menimpa kulitnya, dan saat air langit turun lembut namun perlahan jadi berisik, saat itulah temannya muncul.

Hanya merasakan kehadirannya yang mengendap-endap. Napasnya mengendus nyaris menyerupai angin lewat. Telinganya merabai seperti sebuah bisikan, atau mungkin hanya angin saja, dia tak bisa membedakan. Suara hujan cukup mengaburkan. Tongkat yang di tangannya mengelosor ke bawah. Suaranya sedikit membuatnya kaget.

“Apa itu membantumu?” pertanyaan itu terdengar seperti bisikan perempuan.

“Ya. sudah sangat lama rasanya," jawab Supri.

Hujan dan angin telah membaur. Mengantarkan deraian air hujan pada mereka berdua.

“Baiknya kita duduk di sana,” ujar Supri sambil menudingkan tongkatnya. Lalu gopoh-gapah, mengetuk-ngetuk tongkatnya pada tanah. tangannya merabai sebuah kursi panjang yang terlihat akan patah saat diduduki, namun nyatanya masih kuat. Perempuan itu mengikutinya duduk di sebelahnya, sedikit berjarak.

“Kau sendirian?” bisiknya lagi. Sudah lama Supri tak berbicara dengan sosok lain selain ibunya.

“Dengan ibuku.” Pendek saja, lalu melanjutkan, “Umm… kau dari mana?”

“Dari arah selatan. Bersama hujan," jawabnya.

Hujan selalu membawa cerita. Kala itu masih kecil, Supri suka hujan-hujanan. Sebelum Tuhan mencabut penglihatannya. Dia juga pernah punya teman. Menggunakan daun pisang memayungi kepala menembus hujan. Setidaknya muat untuk tiga orang. Ada juga yang sendiri memayungi dengan daun lumbu. Hawa kebersamaan yang purba sekarang. Terakhir Supri tertawa hanyalah dengan bayangan di kepalanya sendiri.

“Namamu?” tanya Supri.

“Umm… aku tak punya nama. Tapi terakhir kali ada seseorang yang meneriakiku Sableng.”

“Uh, itu sangat kasar.” Supri mengimbangi

Sekonyong—konyong ibunya keluar dari pintu yang tak tertutup. “Dengan siapa kau bicara, Pri?” tanyanya.
 

Supri tak tahu, selain pandai berbisik, perempuan yang baru dikenal juga pandai melompat. Entahlah, mungkin takut kehadiran sang ibu. Sebelum dia pergi, sempat berbisik terburu-buru. “Aku akan kembali lagi besok."

Keesokan harinya, sesaat setelah terbangun dari tidur yang begitu suntuk. Suara ketukan di jendela kamarnya membuatnya beranjak. Terdengar tipis ucapannya di balik jendela, “Hey! ayo.” Supri berusaha meraih tongkatnya, kakinya berjalan sambil meraba, sedikit tergesa. Rumahnya begitu kecil, namun cukup untuk berdua dengan ibunya. Setelah di luar, cahaya matahari pagi menimpa wajahnya. Lebih hangat dari selimut yang dia pakai semalam. Matanya sudah begitu lama tak menangkap cahaya keperakan.

“Kau tahu? Kulitmu sangat putih. Apa jarang tersengat sinar matahari.” Dia berbicara sambil berpindah—pindah dengan cepat. Nadanya begitu semangat.

“Tentu. Aku tak bisa berjalan jauh," jawab Supri.

“Kau tak ingin sepertiku? Berpetualang ke berbagai arah mata angin. Kau akan belajar untuk tak peduli orang memanggilmu apa. Inilah hidupmu.” Sambil bergerak menjauh.

“Ibuku tak mengizinkan,” jawab Supri lebih keras.

Lalu terdengar suara tipis dan menjauh. “Kalo tak mau? Aku akan kembali lagi nanti.” 

Setelah itu Supri menyadari lagi, bahwa dia bersendiri lagi. Kesepian kembali menjalarinya. Kembali dia berjalan meraba, duduk di kursi itu yang kelihatannya akan hancur saat diduduki. Memegangi tongkat sambil melamuni sesuatu. Tuhan telah mencabut penglihatannya. Ada banyak hal rencana besar Tuhan untuk setiap mahluk. Yang jelas, jalan sepi telah dia lalui hingga mengiris hidupnya.

Kesadarannya nyaris tak bisa mengikuti bagaimana dunia ini berkembang. Lebih banyak pergulatan batin yang sia-sia. Terutama saat baru menerima keadaan semacam itu. tentu ada banyak hal yang dikenang Supri. Tentang masa lalu yang kelam sekalipun. Dunia begitu absurd sekarang. Seakan langit meneriakinya lemah, rapuh, payah. Suara-suara di kepalanya begitu riuh meski sudah menutup telinganya. Pernah ada seseorang menganggapnya gila. Bodohnya Supri menyerap suara itu di udara. Menjaring seluruhnya tanpa dipilah.

Satu hari, dua hari, perempuan yang pandai berbisik itu tak jua muncul kembali. Tiap kali Supri terbangun dengan harapan, bahkan dalam mimpinya dia berharap akan menandatanginya, namun hanya kecewa yang ada. Hari ke tiga, hanya muncul suara—suara di kepala. Suara yang kadang menjelma rasa gelisah yang hanya bisa terobati dengan pertemuan. Hari ke empat, malam hari, Guntur berderap di selatan. Langit berkeredap cepat. Suaranya baru terdengar 2,5 detik setelahnya. Supri berbaring dengan selimut menutupi setengah tubuhnya lalu diam sebentar. Menghela napas panjang dan dalam, embusannya seperti dari ulu hati yang luka. Betapa menyakitkan jenis napas yang seperti itu. Hampir menangis seperti anak kecil sambil menarik selimut hingga ke dagu.

“hey!” suara itu membuatnya setengah terbangun. Kadangkala malam memang begitu. Lewat begitu cepat tanpa disadari. Supri tergeragap. Kesadaran belum memasuki kepala sepenuhnya. Tangannya menggerayangi ke mana saja, mencari tongkat penuntun. Perempuan itu berbisik sambil menggapai jendela.

“Aku tak mau kau jadi bajingan sepertiku. Dunia luar terlalu berbahaya untukmu.”

“Kemana saja kau?” tanya Supri.
Lalu dia mulai bercerita.
“Dengar.  Kuceritai saja kau. Aku menemukan banyak jenis kesan manusia. Ada yang pandai membual, membuat udara bertuba. Meracuni orang sekitar. Banyak orang salah dalam memahami seni cinta. Banyak orang berpeluh dan berkeluh. Banyak orang membunuh dan dibunuh. Aku pernah mengendus bau bangkai di dalam tanah. kalau kau tak percaya, aku punya bekas lemparan batu bergeligir mengenai kepalaku saat mereka mengusirku. Sebelumnya aku melihat mereka memendam mayat manusia sambil meludahi tanah.”

“Kau tahu? Sejak aku buta, aku telah belajar menjadi pendengar yang baik," ujar Supri.

“Tapi kau bukan tualang yang baik. Setelah aku pikir, aku juga bukan pemandu yang baik," jawabnya.

“Kau tahu maksudku. Pendengar yang baik selalu butuh pencerita," ujar Supri lagi.

“Kau membutuhkanku," tanyanya.

“Ya.” Supri mendesah.

“Kau seorang imajiner bukan?” perempuan itu masih menjawabi.

“Sesuatu yang di kepalaku, mereka tidak nyata. Itu membuatku mati perlahan," jelas Supri.

Sejak saat itu, Supri suka mendengar ceritanya. Suara yang menyerupai bisikan. Dibawa dari dunia luar yang asing. Mulai di kepalanya tersusun peristiwa yang semakin memantik imajinasi. Kadang tereka berulang—ulang. Sesuatu yang tak nyata oleh mata seakan menyeretnya ke dunia yang dia dengar dari perempuan pembisik. Dunia yang begitu banyak keambiguan.

Tangannya menggenggam erat tongkat. Supri begitu merindukan tanah yang dipijaknya sewaktu kecil dulu. Saat hujan, bersama temannya memayungi kepala dengan daun pisang. Dia ingin berjalan di jalan sepi itu. Hidungnya terasa mengembang. Begitu besar keinginannya mencuatkan dirinya ke dunia luar.

***


“Sudah kubilang aku pemandu yang buruk. Dan kau memaksa," kata perempuan pembisik itu.

Supri terus melangkah sambil meraba. Entah seberapa jauh dari rumah, dia tak tahu. Ibunya juga tak tahu menahu akan kepergian Supri. Jalan yang dia pijak sudah berbeda atau memang salah jalan, yang ada ketidaktahuan dan gairah baru.

“Kau tahu jalan pulang bukan?” tanya Supri.

“Tentu," jawab perempuan itu.

“Itu yang terpenting. Jadi, di mana kita sekarang?” tanya Supri.

“Umm, di tempat aku bisa mencium bau bangkai," jawabnya.

 "kuharap  kau tak salah memilih jalan," ujar Supri.

Supri berhenti berjalan. Semakin dia melangkah yang dirasakannya hanyalah keterasingan. Dia menghadapkan tubuhnya ke berbagai arah secara bergantian. Napasnya lumayan berat karena lelah. Saat itulah merasakan sesuatu di bawah kakinya. Bunyinya berbeda saat dia ketuk dengan tongkatnya.

“Inikah rantai yang mengalungi tanah?Tempat di mana jemari bengis maut itu bekerja,” batin Supri tertegun hebat.

Dari arah bahu kirinya, lumayan jauh, seseorang berteriak memanggil, “Supri! Kaukah itu?” Dalam daftar ingatan jenis suara di kepalanya. Meski terdengar berbeda, namun Supri yakin dia adalah temannya waktu kecil, saat menembus hujan bersama sambil berpayungkan daun pisang, dia adalah Toto.

“Jangan dekati dia! Dialah kemarin yang melemparku dengan batu bergeligir, saat dia memendam mayat manusia sambil meludahi tanah!” teriak perempuan pembisik itu.

Hatinya berdesir hebat. Hal—hal yang belum siap diterimanya datang bersamaan tak terduga. Kakinya gemetar. Jalur kereta yang dia pijak juga terasa bergetar, lalu terdengar suara mengaung dari jauh. Kereta akan lewat dan Supri masih geming. Semakin dekat getarannya makin kuat.

“Hey! menyingkirlah. Kereta akan lewat!” Perempuan itu berteriak lagi. Kereta mengaung lebih keras, seperti di dekat telinganya. Suara rodanya berderap keras, dan makin keras. Lalu sosok yang dianggap perempuan pembisik itu mendorong Supri sebelum kereta benar-benar lewat, diikuti suara tipis lengkingan perempuan itu dan suara tubuhnya yang jatuh berdebam.

“Kau tak apa?!” teriakan Supri menguap sia—sia di udara, tertimbun suara kereta. Dan tak ada jawaban. Kepanikan mengerubunginya lalu menangis seperti anak kecil.

“Sudahlah. Jangan kau tangisi kucing yang sudah mati itu, yang terpenting kau selamat,” ujar Toto.


Suyat Aslah, Cilacap

Supriyatno Bagaikan sebutir benih yang terkubur di bawah tanah di musim sunyi

0 Response to "SUPRI DAN SEBUAH ELEGI"

Post a Comment

Iklan

Iklan Tengah Artikel 1

ads

Iklan