TAPAK DARAH - SUYAT ASLAH

TAPAK DARAH

Laki-laki terluka

 

Sebuah hantaman buas mengenai kepalaku. Aku terhuyung, lalu sejulur kaki ‘binatang’ menendangku. Kombinasi gerakan yang acak, namun tak ragu. Hampir tak berjeda. Mulutku berlumas darah. Hidungku pecah. sedikit tercicip darahku lalu kuludahkan sambil mengerang. Lalu salah satu dari mereka melukaiku dengan pisau kecil. Seperti menusuk dan mengiris kulitku. Terasa pedih bukan main di pinggang sebelah kiri. Aku menekan luka itu supaya tak kehilangan darah terlalu banyak.

“Sekarang kau berhutang waktu. Kau tahu?!” teriaknya lalu pergi begitu saja.

Seekor kucing menatapku di balik semak. Matanya menyala dalam gelap. Hanya sebentar lalu pergi entah kemana. Kucoba mengangkat tubuhku sambil merabai dinding ruko tak bertuan. Kutanam kakiku kuat-kuat namun terlalu lemah menahan beban tubuhku. Sambil menekan luka dan sedikit membungkuk, berjalan kecil juga lambat.

Saat itulah aku melihat ‘Tapak darah’ seseorang di sepanjang jalan Penyesalan di Kota Kehilanganku. Tapak merah yang terputus karena telah  habis  darahnya,  dan tak  bisa  kuhitung tempuhnya. Langkahnya yang tak terdengar saat dia datang, namun menggetarkan hati saat pergi. Terasa biasa kata yang  diucapkan saat ada. Tapi begitu sarat makna saat tak ada. Waktu terasa tak berarti saat  dijalani, tapi  begitu penting saat berlalu pergi.

Aku tak bisa membayangkan betapa beratnya melangkah di jalan-jalan terjal penuh liku. Meninggalkan jejak Tapak Darah yang baru bisa kulihat di jalan-jalan Penyesalan di kota Kehilanganku. Jejak yang tiap langkahnya membawa lara. Lara yang tak pernah dipedulikan rasa sakitnya. Demi aku. Laki-laki yang sekarang menangis tak henti-hentinya menyesali semua yang terjadi. Anak yang sekarang bingung hidup sendiri. Akulah laki-laki yang ingin kembali jadi bayi dan selamanya dalam timangan dan nyanyian. Dan tak perlu lagi merasakan beban yang menimpa pundak seorang laki-laki dewasa, tak perlu merasakan sakitnya kehilangan, penyesalan, juga luka karena cinta.

Kusandarkan tubuhku yang lebam berdarah pada tembok. Aku belum kemana-mana. Sendiri ku tak berdaya di hadapan kenyataan yang telah dan baru saja terjadi. Sebuah peristiwa yang bisa saja merenggut jiwaku, saat bersamaan rasa lain terlanjur menyelusup menyiksa jiwa. Ini tentang salah satu perasaan maha pedih yang kurasa. Perasaan yang mampu membunuh para insan di bumi.

Adakah yang lebih menyakitkan dari kehilangan dan penyesalan? lebih menghancurkan jiwa seseorang? sebuah rasa yang terlalu sakit untuk dirasa. Dan terlalu mudah melenyapkan asa.

Dua buah sorot lampu mobil bergerak naik turun, karena melewati jalan bergelombang. Kulambaikan tanganku yang terkena darah. Barangkali dia bisa membantuku menutup lukaku atau mengantarku ke rumah sakit. Kurasakan darah masih mengalir tak berhenti. Sinarnya menimpa wajahku. Aku memalingkan wajah dan menahan cahaya dengan tangan karena silau. Mobil itu berhenti di depanku. Lalu kaca terbuka dan sebuah kepala menonjol dari dalam.

“Kau tak apa?” teriaknya.

“Aku butuh bantuanmu. Aku kehilangan banyak darah.” Aku benar-benar menahan sakit. Sepanjang ingatanku, yang pernah kurasa, tak ada yang sesakit ini. Tak ada yang lebih menghancurkan jiwaku selain ini. Hanya ada sebuah ketidakberdayaanku menghadapi takdir yang tak kuduga digariskan Tuhan di waktu yang begitu mengejutkanku. Sebuah kenyataan yang sesungguhnya ku tak harapkan ini nyata. Tapi ini sudahlah menyata. Tak ada yang bisa kubuat untuk mengubah takdir ini. Takdir yang melahirkan penyesalan begitu dalam di relung hati. Kurasa dunia terasa seperti tempat penuh derita untuk ditinggali.
 
“Jauhi orang bermasalah kalo tak ingin punya masalah!” teriak suara perempuan di kursi belakang yang gelap terhalang kaca mobil.

“Dia butuh bantuan.”

“Aku tak peduli. Kita sudah banyak masalah sekarang. Jalan saja terus!” sejulur tangan dari kursi belakang mendorong dan menepuki kepala laki-laki yang mengemudi itu bersama emosi.

Sebelum mobil itu benar-benar pergi, laki-laki paruh baya itu menatapku lemah dan khawatir, seakan ingin bicara padaku, “Maaf aku tak bisa membantumu. Tunggulah orang berikutnya lewat.”

Ada sebuah keinginan yang muncul di saat yang tak pernah kuminta, di waktu yang telah mustahil untuk mewujudkan keinginan itu. Tapak Darahnya telah terputus, pastilah keinginanku hangus. Tuhan telah memisahkan kita dengan tapal batas ruang dan waktu yang diciptakan dengan sangat mengejutkan dan penuh misteri. Manusia takkan mampu mengetahui peristiwa seperti ini jauh sebelum peristiwa ini terjadi. Pun aku tak dihinggapi firasat tentang kepergiannya.

Aku hidup teracuni dunia jalanan. Pemakai dan pengedar obat-obatan terlarang. Berjuta hutang makin membebaniku hidupku yang tak pernah tenang. Hampir tiap hari menghadapi penagih hutang yang seperti binatang. Alasan klise kadang membuat kaki dan tangannya bekerja lebih keras memukuliku. Namun kali ini mereka melibatkan senjata itu.

Kembali kucoba berjalan pelan. Masih menekan luka itu. kulihat kucing itu lagi, kali ini mendekat ke arahku. Berhenti sebentar menatapku dan mengeong. Lalu berjalan lagi lebih dekat padaku. Mengendusi kakiku, menggosokan tubuhnya berkali-kali.

Aku terlalu sibuk dengan segala urusan yang hanya menghabiskan waktuku. Sementara  dia rela meneteskan seluruh darahnya di atas derita lara. Tetap berusaha tegar dan menjejakkan kuat kaki yang gemetar di atas Tapak Darahnya yang menggenang. Melangkah tanpa pegangan. Dan mampu menyembunyikan semua derita di balik senyum ikhlasnya. Bahkan hingga pergi, tetap meninggalkan jasadnya dengan wajah surga dan senyum bidadari.

Sungguh telah meninggalkan banyak Tapak Darah di sepanjang perjalanan. Banyak langkah penuh perjuangan yang tak terkira dan tak bisa kuperkirakan betapa pedih rasanya. Ada sebuah nasehat yang tak bisa dikunyah logikaku saat aku berumuh bocah, “Jangan pernah kau coba lukai hati wanita yang kau cintai. Jika kau luka karenanya, dahulukan sabarmu daripada murkamu. Jika dia terlanjur luka karenamu, minta maaf adalah langkah kecil untuk menyembuhkan lukanya. Hati wanita seperti selembar kertas yang mudah dicercah dan kau robek. Kau harus ingat! air matanya yang mengalir itu takkan bersuara. Dia mampu menyembunyikan kesedihannya tanpa pernah kau tahu,” katanya seakan penuh luka di matanya. Dan aku tak bisa memahami kalimatnya waktu itu.

Ada kisah penuh perih di balik Tapak Darah itu. Kisah yang tercecer dalam sebuah perjalanan panjang berlatar luka dan beralur derita. Dan tanpa sadar akupun melengkapi lukanya. Tak terpikirkan olehku seberapa sakitnya luka itu. Bahkan mungkin telah merasakan luka sejak aku masih jadi gumpalan daging bernyawa dalam rahimnya dulu.
     
Luka yang hadir saat laki-laki yang seharusnya ada di sampingnya dalam keadaan apapun, dia meninggalkannya juga diriku di atas Tapak Darah. Aku belum pernah melihat rupanya. Dia pergi saat aku dalam jasadnya. Hingga orangtua tunggal yang merawatku setelah aku lahir. Dan itu membuatku kering kasih sayang seorang ayah. Ingin kubertemu dengannya, lalu menembakinya dengan berkarung-karung amunisi pertanyaan yang kupendam sangat lama. Meski itu akan tetap percuma.

20 tahun. Rentang waktu yang cukup lama untuk merasakan luka. Luka yang tak pernah kupahami. Sesuatu yang tak pernah kupedulikan selama ini. Sebaliknya, selalu menyembuhkanku saat aku terluka. Melindungiku dari semua kemungkinan yang akan menyakitiku. Mengangsurkan suapan demi suapan ke mulutku dari hasil mencari dengan langkah berdarah.

Sangat kentara kulihat Tapak Darahnya di sepanjang Jalan Penyesalan di kota Kehilanganku. Penyesalan dan kehilangan. Dua kata cukup sederhana, tapi cukup membunuh bagi yang merasakan. Waktuku lebih banyak tersita pada duniaku. Aku tak bisa menaklukan waktu yang begitu singkat untuk menghormatinya. Aku tak sanggup lagi berjalan. Tersungkur dalam gelapnya jalan. Kucing itu mengendusi wajahku sambil mengeong.(*)

Suyat Aslah.
 



Supriyatno Bagaikan sebutir benih yang terkubur di bawah tanah di musim sunyi

0 Response to "TAPAK DARAH"

Post a Comment

Iklan

Iklan Tengah Artikel 1

ads

Iklan