PUSPA - SUYAT ASLAH

PUSPA

puspa

PUSPA. Kupanggil dia Puspa. Masih berumur sedikit lebih lama dari kuncup. Masih perlu waktu untuk mekar dan tumbuh menjadi Puspa yang indah dan mengeluarkan harum semerbak hingga ke pucuk penciuman. Dia dikodratkan seperti Puspa. Lebih tepatnya terpaksa menjadi seperti Puspa. Hidup dari pohon yang memunculkannya di pucuk-pucuk batang, membiarkan rupanya terumbar menjadi daya tarik para kumbang. Kumbang berhidung belang.

Pun sekarang dia sudah cantik dan mengundang para kumbang mendatanginya, meski hanya segurat harum melayang di udara. Sesungguhnya dia ingin menjadi Puspa yang menerima hanya satu kumbang dalam hidupnya. Tapi itu tak terjadi pada sebuah Puspa. Puspa selalu didatangi kumbang yang meninggalkan rumahnya, mencari-cari Puspa yang akan dia cecap manis wanginya demi kepuasannya sendiri. Lalu pergi mencari Puspa-Puspa yang lain yang akan memuaskan dirinya.

Hidup seperti Puspa bisa jadi keteraniayaan batin selama hidupnya. Dia tak bisa hidup bebas setidaknya untuk memilih pasangan hidupnya. Dan dia hanya bisa menunggu kedatangannya. Sementara seseorang yang datang belum tentu yang diinginkan. Bahkan mungkin paling dia benci. Semua itu dilakukannya dengan keterpaksaan karena dipaksa. Dan itulah kehidupan seorang Puspa.

Dia Puspa yang tak ingin kehidupannya terasa seperti Puspa. Yang tak bisa memilih takdir yang diasa. Dan dia Puspa yang terbiasa melawan paksa. Meski kebebasan tak jua tiba dan selalu berujung duka.

Awal aku melihatnya saat malam hari. Dia sedang berdiri di bawah tiang berlampu hampir pejam di pinggir jalan. Bukan cuma dia, ada banyak teman-temannya di sana. Ada yang berumur masih sedikit kuncup. Ada juga yang berumur baru mekar. Mereka berjalan pelan di jalan miskin cahaya. Hampir semuanya mengumbar keindahan rupa. Juga bau harum khas yang mengundang kumbang malam berhidung belang. Tapi tidak untuk Puspa yang kukenal. Dia hanya berdiri di bawah tiang dengan rupa yang tak berlebihan.

Para Kumbang berhidung belang akan melambatkan lajunya saat masuk ke kawasan mereka menunggu. Dengan mata penuh berahi mencari-cari tempat perlabuhan bagi nafsu yang menggelagak dalam diri. Sangat ironi, beberapa kawan Puspa banyak yang menawarkan diri. Sesuatu yang merusak harga diri. Tapi Puspa masih di posisinya. Sendirian. Saat itu ada salah satu si Kumbang berhidung belang mendekat dan merayunya. Menggodanya dengan cubitan di pipinya, segera Puspa menepisnya bahkan menamparnya. Lalu Puspa pergi dengan langkah marah. Dia berpapasan denganku. Saat itu pun dia sempat melayangkan pandangannya selintas ke arahku. Sebelum akhirnya aku terlewati dan dia berjalan ke arah sebaliknya. Angin yang terkibas ke arahku, mengantarkan keharuman khas Puspa.

Keesokan harinya, lewat tengah malam. Aku melihatnya lagi. Dia duduk bersimpuh sedikit mencondongkan badannya sendirian. Di bawah tiang berlampu neon, tak jauh dari tempat dia berdiri kemarin. Dia menangis tersedu-sedu. Membuat tubuhnya berguncang dan rambut lurusnya berayun-ayun. Aku mendekatinya dengan langkah ragu. Bahkan aku tak tahu kenapa aku mendekatinya. Apa tujuanku? Aku berhenti di hadapannya. Perlahan dia menegakkan kepalanya. Dan melihatku dengan tatapan yang berubah perlahan. Seperti tatapan murka.

“Pergi kau sialan!” teriaknya. Aku tetap di sana. 

“Kau perempuan yang kulihat kemarin?”

Aku merendah dan bertekuk lutul dihadapannya. “Siapa namamu?” tanyaku. Kembali tak ada jawaban.

“Kupanggil  kau  Puspa,” Kataku lagi.

“Kau laki-laki brengsek!” Kata dia. Masih menangis.

“Kau  Puspa  yang  terluka?”

“Sangat parah!”

“Sesungguhnya aku pun bisa saja membunuh dia. Jangan kau kira sesuatu yang lemah lembut kauanggap tak berbahaya, justru bisa saja dia sangat mematikan!”

Aku belum terlalu paham dengan kata bajanya. Mengapa dia bisa seterluka itu. Aku yakin itu memang tangisan akibat luka. Siapa lelaki yang tega melukainya? Lalu kemana semua teman-teman Puspa. Apakah mereka bersama para kumbang? sama terlukakah mereka? atau mereka cukup kuat menerima luka itu? atau seseorang yang kupanggil Puspa ini berbeda dengan yang lain?

Malam hampir berada di titik kulminasi. Dia masih bersimpuh, aku pun masih bertekuk lutut di hadapannya. Cahaya lampu neon yang menerpa rambutnya menciptakan siluet di wajahnya. Cukup menggambarkan lekuk indah wajahnya. Dia masih menangis, terlalu banyak air mata di pipinya.

Aku menamainya Puspa karena aku takjub akan keindahannya. Tapi perlahan aku tahu, nama itu cukup melukiskan tentang dia. Dia seperti Puspa yang indah dan harum semerbak. Menarik perhatian para kumbang. Jika ada kumbang yang menghinggapinya, bisa saja menggugurkan salah satu mahkotanya dan itu membuatnya terluka. Sementara aku tak bisa mendesak dan memaksanya bicara.

“Lalu kenapa kau masih mau berdiri disana? tempat di mana para lelaki bisa membuatmu teluka kapan saja.”

“Semua terasa rumit, keadaan yang memaksa. Aku menunggu kematian sekarang.”

“Tunggu emosi dan pikiran keruhmu mengendap, maka kau akan bisa berpikir lebih jernih.”

“Tapi endapan itu akan tetap ada, dan suatu saat akan keruh kembali.”

“Maka endapkanlah lagi, atau buang endapan itu.”
 
“Itu tidak mungkin.”

“Lupakan semua yang terjadi dan buatlah rencanamu yang lebih baik.”

“Tak ada yang bisa mengobati lukaku.”

“Lalu apakah kematian akan mengobati lukamu?”

Dia hanya terdiam. Aku takut kalau dia benar-benar tak main-main dengan kata-katanya. Kata-katanya seperti tak tercampuri keraguan sedikit pun. Kulihat dia benar-benar terkalahkan luka. Semua hal bisa terjadi tanpa bisa diprediksi.

Aku menatap lekat-lekat wajahnya. Sebuah rupa hasil Mahakarya Sang Pencipta. Siapapun yang melihatnya, akan terbius oleh kecantikannya. Bahkan cukup melemahkanku untuk menatapnya.

“Jangan sampai ada perasaan itu padaku.” katanya. Aku terkesiap, rupanya dia pun menatapku. “Aku sudah tahu banyak tentang apa isi dari tatapan mata lelaki. Aku tahu tatapan lelaki penggoda, lelaki pembohong, lelaki penuh berahi, lelaki pemarah, lelaki penghianat, lelaki pencemburu….“

Aku merasakannya, suatu perasaan yang tersembunyi di balik tatapanku. Perasaan yang muncul pada saat yang tak pernah kuminta. Membuat sebuah desiran aneh yang merambati hatiku secara perlahan.

“Lebih baik kau jauhi saja aku.” katanya.

“Jika aku tak bisa?” aku menanggapinya dengan tanya.

“Maka aku yang akan menjauhimu.”

Masih kutatap wajahnya. Angin mendesir pelan di tengah malam. Langit hanyalah lembaran kosong, tanpa hiasan bulan dan bintang. Berwarna gelap. Perlahan gerimis menembus pori-pori udara malam. Dan dia masih tetap bersimpuh.

“Kurasa hujan akan turun.” kataku membuka kembali percakapan.

“Biarlah, jika seharusnya dia turun.” jawab
dia.

“Kau masih tetap mau di sini, mungkin hujan akan lebat.”

“Hujan itu tidak menyakitkan, malah menyegarkan.”

“Tapi bisa membuatmu sakit beberapa waktu kemudian.”

“Tapi setidaknya dia tak berniat menyakitiku bukan?”

Gerimis mulai turun dan perlahan menjadi hujan. Terdengar suara rentetan air hujan yang menghantam dedaunan, tanah, juga kepalaku. Tercium aroma bau tanah yang terkena air hujan. Dia masih tetap bersimpuh. Aku menggamit tangannya untuk mengajaknya berteduh. Tapi dia menepisnya. Dia benar-benar tak peduli.

“Kau tahu? aku tak suka suara tetesan air hujan.” kataku agak keras karena berisik suara hujan.

“Tapi aku menikmatinya.” Kata dia juga setengah teriak.
 
“Aku pun tak suka bau tanah saat hujan.”

“Aku suka baunya, bahkan aku mencium aroma kematianku.”

“Kau masih berpikir tentang itu?”

Aku benar-benar khawatir padanya. Aku takut dia akan melakukannya. Terlebih perasaan itu terlanjur hadir di hatiku. Dan makin merasukiku. Hujan cukup deras. Kita sama-sama basah kuyup. Airmatanya tersamarkan oleh air hujan. Tapi tidak kesedihannya. Dia masih merasakan luka. Luka yang entah. Aku yakin itu bukan sembarang luka. Hingga jiwanyapun ikut terluka.


Hujan seperti ditumpahkan dari langit. Dia masih bersimpuh. Dan mulai menggigil. Aku khawatir akan keadaannya. Sedikit kupaksa dia untuk berteduh. Lagi-lagi dia menolaknya. Kulemparkan pandanganku pada semua arah. Benar-benar sepi. Tak ada orang lain, bahkan tak ada kendaraan yang melintas.
 
“Setidaknya perhatikanlah kesehatanmu.”

“Untuk apa? bahkan aku sendiri pun akan membunuh diriku. Sudah kubilang jauhi aku!” dia mengusirku.

Kulihat ada seseorang berjalan dari seberang jalan. Seseorang yang berpayung. Namun tersamarkan oleh derasnya hujan. Langkahnya cepat, seperti terburu-buru. Baru terlihat jelas saat makin dekat. Dia seorang perempuan seumuran Puspa. Berjalan ke arah kita.

Aku pergi setelah kujelaskan semua. Aku lebih tenang karena ada temannya yang menemani. Sedikit jauh aku melangkah pergi, aku melihat kembali ke belakang, derasnya hujan dan kegelapan telah mentabiri.

Setelah itu aku selalu memikirkan Puspa. Seseorang yang mampu membuatku gelisah dan hanya akan terobati saat aku bertemu dia lagi. Aku pun masih ditimbun ketakutan dan kekhawatiran akan kata bajanya.

Malam selanjutnya. Aku ingin bertemu dia lagi. Aku berjalan pelan di jalan miskin cahaya. Kulihat ada banyak teman Puspa di sana. Bahkan ada yang menawarkan dirinya padaku. Tapi aku bukanlah kumbang berhidung belang. Kutanyakan pada dia di mana Puspa. Tak ada yang mengenalnya. Bahkan setelah aku menggambarkan wajahnya.

“Mungkin dia baru di sini. Aku tak mengenalnya,” kata dia.

Kulayangkan pandanganku kebawah tiang tempat dia berdiri waktu itu. Aku tak melihat wujudnya di sana. Lalu ada seseorang yang menepuk pundakku dari belakang. Dia perempuan berpayung yang mengajak Puspa pulang malam itu.

“Kau yang kemarin bersama Puspa?” tanya dia. Belum aku menjawab, dia memberikan selembar kertas tanpa amplop. Bibirnya bergetar hampir menangis, lalu segera dia pergi.

Kubuka selembar kertas yang terlipat. Dan kubaca dalam hati:

Untuk laki-laki malam itu,
Kutulis surat ini untukmu. Kau yang memanggilku Puspa. Aku suka panggilan itu. Maaf aku belum punya panggilan khusus untukmu. Sebelumnya aku Puspa yang membenci semua laki-laki. Dan kau telah mengubah cara berpikirku itu. Meski itu sudah terlambat. Jiwaku lebih dulu terluka. Aku bukanlah Puspa yang masih suci. Itu jawaban yang kusembunyikan waktu itu. Itu sebabnya aku merasa tak pantas untukmu. Dan kau tak mau menjauh dariku. Kupikir lebih baik aku saja yang menjauh darimu. Lewat tulisan ini, aku ingin menyampaikan pesanku padamu. Kau jangan mencariku lagi. Cukup do’akan aku. Kau takkan pernah menemukanku lagi. Jika kau mencariku, mustahil kau menemukanku dalam keadaan masih bernyawa. Maafkan aku, aku tetap pada keputusanku. Aku Puspa yang akan menggugurkan diriku. Dan biarlah alam menjadikanku humus di bumi. Terimakasih untuk malam itu. Percayalah, aku telah menerimamu…

Puspa
.

Suyat Aslah, 2016.
 


Supriyatno Bagaikan sebutir benih yang terkubur di bawah tanah di musim sunyi

0 Response to "PUSPA"

Post a Comment

Iklan

Iklan Tengah Artikel 1

ads

Iklan